Langsung ke konten utama

Menari dalam Perjalanan Hidup


Kalau ditanya tentang hobi, ingatan langsung terbayang buku data diri yang terdapat pada buku kenangan. Setelah nama-alamat-tempat dan tanggal lahir, hobi  adalah pertanyaan berikutnya. Dulu, aku selalu mengisi kolom hobi dengan menari. Yah, menari. Sejak Taman Kanak-kanak hingga SD, aku belajar menari di rumah tetangga yang berasal dari Bali. Aku memanggilnya dengan panggilan Tante Ketut. 

Awal kegiatan menari itu karena ada kesepakatan antar kompleks untuk bisa mengisi Hari Kemerdekaan RI dengan segala kegiatan budaya daerah. Beruntung di kompleks kami ada Tante Ketut yang bisa mengajarkan kami menari. Para pemuda dan pemudi yang minat dalam bidang menari dan drama berkumpul untuk latihan bersama. Aku didorong oleh bapak untuk bisa ikut serta. Di situlah, aku menjadi satu-satunya penari cilik.

Aku dan empat pemudi lain menarikan Tari Pendet. Pemuda dan pemudi lainnya terlibat dalam drama dengan setting kerajaan Bali. Aku tidak ingat ceritanya seperti apa. Yang kuingat, pamanku berperan sebagai raja. Sejak itu, aku sering diminta untuk terus latihan dan pentas, terutama jika ada acara 17an. Latihan-latihan itu membentuk keselarasan pendengaran, gerak, dan ekspresiku ketika menari. Lama kelamaan, aku merasa bahwa menari adalah bagian dari hidupku. 

Menginjak kelas 3 SD, Tante Ketut pindah ke Jakarta. Sejak itu, aku tak pernah lagi menari Bali. Namun, tetangga lain yang tahu bahwa aku suka menari menawari aku latihan menari Jawa di kantornya setiap hari Minggu. Orang tuaku mengijinkan. Bersama anak dari tetangga itu, aku kemudian belajar menari Jawa. Tarian yang sempat kupelajari hingga pentas adalah Tari Gambyong, Tari Bondan, dan Tari Srimpi. 

Memasuki kelas 5 SD, aku dan keluargaku pindah rumah. Dengan begitu, aku pun berhenti menari. 

Masa SMP tidak pernah kuisi dengan kegiatan menari. SMP adalah masaku mengenal organisasi dan kegiatan olah raga. OSIS dan Pramuka kuikuti sebagai sesuatu hal baru yang menarik hati. Sementara kegiatan olah raga yang kuikuti ketika masa SMP adalah basket, volley, badminton, dan berenang. 
Hmmm bisa dibayangkan, bagaimana wajah dan kulitku yang gelap karena selalu terbakar matahari. 

Masa SMA masih juga terlibat dalam kegiatan organisasi. OSIS dan Pakibra adalah kegiatan ekstra kurikuler yang kuikuti. Hingga tiba saat kakak pembina Pakibra mendorong kami untuk bisa terpilih sebagai pasukan Paskibraka. Citra yang digambarkan sungguh keren. Menjadi bagian penting dari upacara pengibaran Bendera Kebangsaan di Istana Negara pada Hari Kemerdekaan RI. Kedengarannya sangat wow sekali. Akan tetapi, menjadi pasukan Paskibraka itu tidak mudah. Ada sederetan syarat yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah mengerti dan bisa menampilkan seni daerahnya masing-masing.

Masa SMA ku ada di Bandung. Itu berarti, aku harus mengerti dan bisa menampilkan seni budaya Jawa Barat. Aku sempat merasa pesimis karena aku tak mengetahui seni budaya Jawa Barat sama sekali. Meski aku lahir dan dibesarkan di Bandung, aku belum pernah benar-benar mempelajari seni budaya Sunda. Sementara aku sendiri lahir dari kedua orang tua yang berasal dari Jawa Tengah.  

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Begitu kata pepatah. Seolah alam  menyediakan diri sebagai media bergetarnya frekuensi yang sama. Suatu hari, kakak kelas mengajakku untuk gabung dalam kegiatan menari jaipong. 
Aha! Ini dia jawabannya. Menari. Aku bisa menari, dan aku bisa mempelajari seni budaya Sunda lewat Tari Jaipong. 

Berawal dari latihan di sekolah, lalu kakak kelas mengusulkan untuk latihan bersama di sanggar tari Kamandhaka di jalan Pajajaran, Bandung. Sekitar satu semester (semester dua), setiap hari Minggu, aku latihan menari di sanggar itu. Acara akhir tahun pun kuisi dengan pentas tari jaipong di sekolah. Hingga semester berikutnya, semester tiga, sanggar Kamandhaka menggelar sendratari dan aku diminta menjadi salah satu dari penarinya. 

Latihan untuk sendratari itu sangat memakan waktu, hingga waktu belajarku tersita. Namun, pengalaman itu memberi pelajaran yang sangat mahal untukku. 
Pelajaran pertama adalah prestasiku di sekolah merosot drastis. Yah, hal itu sudah jelas karena pulang sekolah langsung latihan hingga malam. Pulang latihan, badan sudah lelah dan ngantuk. Mata sudah tak kuat untuk dipaksa belajar dan mengerjakan PR. 

Pelajaran kedua adalah menyaksikan sebuah kenyataan bahwa kehidupan para seniman yang begitu bebas. Aku menyaksikan seorang penabuh gamelan yang sudah beristri menjalin hubungan dengan salah satu penari.  Gosip beredar secara kasak kusuk yang tidak enak untuk didengar. Pengalaman ini membuatku tidak lagi tertarik untuk terus menekuni seni tari. Padahal sebelumnya, sempat terpikir untuk bergabung dengan Swara Mahardhika milik Guruh Soekarno Putra di Jakarta setelah lulus dari SMA. 

Mungkin memang sudah takdirnya, bahwa aku akan bertemu saat-saat untuk berkontemplasi. Selepas SMA, aku memutuskan untuk mengenakan jilbab. Dengan begitu, aku pun memutuskan untuk berhenti menari, tapi aku masih suka menonton acara tari, tarian jenis apa pun. Meski tubuhku tak bergerak, jiiwaku serasa ikut menari. 

Untuk saat ini, aku ciptakan hobi baru, yaitu menulis dan berkebun. Namun aku masih harus menemukan ritme yang pas untuk menyelaraskan kedua hobi baru itu. Sebab, kalau sudah keasyikan membaca dan menulis, aku lupa untuk menyiram tanaman. Demikian juga sebaliknya. 

Tulisan tentang hobiku ini belum pernah kutuliskan maupun kuceritakan. Tulisan ini kubuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan April 2022. 

Di akhir periode tantangan bulan April ini, tulisan ini ternyata dinyatakan masuk dalam kriteria Artikel Paling Populer. Dengan begitu, layaklah jika 𝑏𝑎𝑑𝑔𝑒 APP itu kucantumkan di sini. 

Terima kasih Mamah Gajah Ngeblog. 😍❤️💐

Komentar

  1. keren teh Sari hobinya ... aku pernah tampil nari pas SD dan SMP saat perpisahan sekolah.
    bukan karena hobi he3 ... tapi terpaksa harus mewakili gitu ya.

    BalasHapus
  2. Ya ampun Mba Sari, saya tidak menyangka Mba jago menari. Aaaaa saya beneran tepuk tangan niy Mba ehehe. :)

    Tari Pendet, Jaipong, Gambyong, Srimpi, sampai Tari Bondan. Saya jadi mengingat masa SMP saya dulu, ikut ekskul Tari Tradisional di sekolahan dengan harapan bisa lebih feminin ahahaha, tetapi ternyata kaku jadinya.
    Sepertinya memang harus punya nature badan luwes dan lemas ya Mba untuk bisa menari daerah ehehe.

    Putri-putrinya ada yang mengikuti jejak Ibundanya kah, Mba? Bisa dan suka menari.

    ***

    Sayangnya jaman sekarang sudah mulai sedikit ya yang tertarik dengan tari daerah. Pada melirik dance k-pop ehehehe. Tetapi semoga ke depannya, akan banyak generasi muda yang mau dan mampu melestarikan kesenian yang keren ini. :)

    BalasHapus
  3. Waduuuh Teeeeeh.. jangan2 Tante Ketutnya jadi tetangga saya! Soalnya saya punya tetangga namanya Tante Ketut dan akhirnya juga kita pada les nari Bali juga di lingkungan situ!

    waah senangnya baca tulisan Teh Sari, aku sendiri lupa kalau dulu juga lama nari Bali. Emang menari itu bikin bahagia ya Teh. Kita beruntung banget jadi orang Indonesia yang banyak tarian tradisionalnya yang indah2.

    Cari foto-fotonya dong, mau liat teh Sari nari :)

    BalasHapus
  4. Menyenangkan sekali bisa menari. Itu keinginan saya yang tak pernah terwujud. Tapi sampai saat ini saya masih selalu menikmati dan merasa senang melihat penari dengan gerakannya yang sesuai dengan iringan musik/gamelan.

    BalasHapus
  5. Waktu kecil ya pernah juga belajar menari Jawa. Kemudian ketika Ayah tugas ke LN, saya dan kakak menari deh di depan para diplomat, tamu undangan Ayah. Iringan gamelannya pakai tape recorder...Menari bukan sebagai hobi sih. Sesudahnya ya brenti gitu aja...

    BalasHapus
  6. keren teh Sari ... hobi menulis memang mengasyikkan. oya ... dunia hiburan memang penuh tantangan ya he3 ...

    BalasHapus
  7. Mba Sari, seru banget pengalamannya, bisa menari Bali, Jawa dan Jaipongan, menarik banget Mba, karena saya ga bisa nari sama sekali. Jadi ingat dulu ada teman SD orang Bali, memang pinter banget nari, setiap ada pentas seni di sekolah pasti nari. Aku lebih menikmati jadi penonton aja hehe.

    BalasHapus
  8. Wah seru ceritanya, saya dulu waktu kecil dipaksa belajar nari sama ibu saya, katanya biar luwes... Tapi ga pernah berhasil 😆

    Baca cerita ini, serem juga ya pergaulannya, untung sekarang bisa punya hobi lain ya teh

    BalasHapus
  9. Minat belajar menari sih dari kecil... tapi nggak kesampaian sampai sekarang. Ketika SMP sempat belajar tari narantika, tapi ketika mau ditampilkan di malam kesenian di ajang Jamnas, saya justru sakit demam. Gagal deh perform menari. Sekarang sih udah malu sendiri kalau lenggak-langgok di depan orang banyak. Jadi nari suka-suka aja, cukup buat kesenangan sendiri.

    BalasHapus
  10. Waktu SD pun aku sempat belajar menari Jawa.
    Menarik bahwa Teh Rochma belajar menari krn keinginan sendiri. Pengalaman tak terlupakan ya Teh...

    BalasHapus
  11. Keren banget teh, bisa banyak tarian mulai dari bali, jawa, sampai sunda...
    Kalau saya, dulu sempat ingin jadi penari latarnya michael jackson, hihihi...

    BalasHapus
  12. Mba Sariii, setelah membaca di group, saya baru sadar bahwa komentar-komentar pembaca tidak ada yang masuk ehehe. Kenapa Mba? Mungkin ada glitch, Mba? Semoga bisa ketemu masalahnya, dan ditangani segera. :)

    ***
    Waktu itu saya hanya mengemukakan komentar bahwa menurut saya, orang yang bisa menari itu yang basic-nya memang orangnya luwes, lemes, dan lentur ehehe.

    Dulu SMP pernah ikut latihan menari, tetapi teteeup wae kaku beut wkwkwk. Gak bisa gemulai jemarinya ahahaha.

    Dan Mba Sari menguasai beragam.jenis tari dari berbagai daerah..ihh keren ihh, ngiler pisan Mba. :)

    Btw, putri-putrinya ada yang mengikuti jejak ibundanya kah? Suka menari. Ehehe.

    BalasHapus
  13. Selalu kagum sama orang yang luwes. Bisa nari. Karena nari buatku adalah salah satu hal paling susah di dunia. Secara badan kaku dan nggak ada sense sama sekali :))

    BalasHapus
  14. Waah, kebayang pasti Teh Sari luwes banget 😍.

    BalasHapus
  15. wah kenapa ya ada aja seniman yang kelakukannya bikin seni itu sendiri jadi buruk namanya. Padahal kita butuh melestarikan budaya Indonesia melalui tarian daerahnya. Tapi lucu juga nih tetteh hobi menulis bikin suka lupa siram tanaman hehehe.. mungkin itu kenapa aku belom bisa berkebun sampai sekarang, masih keasikan menulis aja, hehhehee...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cheese is The King, Chocolate is The Queen

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog pada bulan Mei 2023 ini bertema tentang makanan favorit. Aku gak tahu harus mulai dari mana untuk berkisah tentang makanan favorit ku. Sejenak terbayang semua yang enak-enak yang pernah ku makan. Mulai dari jenis kue, biskuit, cake, roti, coklat, pasta, makanan dengan bahan baku daging sapi, daging ayam, ikan, dan makanan dengan bahan baku sayur-sayuran. Baiklah kita bahas satu per satu. 😊 Bakery dan Pastry Untuk jenis kue, ah kebetulan baru saja kita lebaran ya, kue kaasstengels menduduki urutan pertama. Sagu keju, nastar, dan kue kacang itu pun masuk dalam deretan favorit kue lebaran. Hmm, semua itu akan membuat berat badan kembali berat setelah berpuasa sebulan penuh.  Untuk jenis biskuit, aku tak bisa menolak tawaran biskuit coklat. Dulu, ketika SMP, aku selalu membeli biskuit dengan krim coklat di warung. Aku belajar dan mengerjakan PR sampai malam pun bisa betah di dalam kamar terus. Sampai ibuku heran dan baru paham kenapa aku

Mengenang Masa Kecil

Terkenang masa-masa kecilku Senangnya, aku s'lalu dimanja Apa yang kuminta selalu saja ada Dari mama, dari papa Cium pipiku dulu Saatku tiba berulang tahun Tak lupa hadiahku sepeda Ku pakai setelah selesai ku belajar Janji mama, janji papa Setelah kunaik kelas Ingin ku kembali Ke masa yang lalu Bahagianya dulu Waktu kecilku Ku dengar cerita Mama papa bilang Aku lincah lucu Waktu kecilku Aku suka bernyanyi. Lirik lagu Masa Kecilku itu memang membawa kita ke masa penuh kenangan. Masa kecil memang indah untuk dikenang. Yah, bagaimana tidak? PR dari sekolah tidak banyak. PR yang kusuka adalah PR menggambar. Satu-satunya buku bacaan anak adalah Bobo. Masih bebas main dengan teman sejak pulang sekolah sampai menjelang magrib. Mau main sendiri dengan boneka-boneka, main bola bekel, congklak pun asyik aja rasanya. Aku makin betah di rumah ketika bu De (kakak kandung ayahku) mengajariku membuat bunga dari kertas krep. Hal yang kuingat ketika menjelang sore adalah tukang bakso ya

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi