Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2022

Demi Sebuah Kartu Perpustakaan

  Di pelataran masjid Salman, Mira tampak panik. Dompetnya tak ditemukan di dalam tasnya. Tangannya masih sibuk membongkar isi tasnya. Ani yang baru saja selesai salat dzuhur melihat Mira dengan heran. “Nyari apa? Kok sampe dikeluarin semua gitu?” “Dompetku gak ada, Ni!” seru Mira panik. “Ya ampun. Gimana ini? Gak bisa beli makan dong. Terus, nanti aku pulang, bayar angkotnya gimana?”  “Udah, dicari yang bener dulu…. Salah nyimpen, kali,” ujar Ani.  “Kamu lihat sendiri, kan. Ini tasku udah kukosongin ….” Jelas Mira sambil menunjukkan tasnya yang sudah dikosongkan.  “Ani, boleh aku pinjam uangmu dulu? Setidaknya untuk aku makan siang dan transport pulang.” Kata Mira dengan memelas. “Iya, iya. Boleh kok.” Jawab Ani sambil mengeluarkan selembar uang berwarna hijau dari dompetnya. “Makasih, ya,” ucap Mira sambil memasukkan kembali barang-barangnya ke dalam tas. Namun, pikiran Mira tak kemudian menjadi benar-benar tenang. “Ya, ampun. Dalam dompetku itu, ada KTP, KTM, kartu Perpu

Hati yang Tegar (2)

Sehari ini terasa begitu sibuk dengan urusan antar jemput Talitha, dan rutinitas harian. Usai makan malam dilihatnya Talitha kembali ke kamarnya dan mengerjakan tugas sekolahnya. Bella merebahkan tubuhnya di sofa untuk melepaskan lelahnya. Ia pun meletakkan kedua kakinya di atas lengan sofa. Sesaat kemudian, ia teringat bahwa seharian ini, ia telah mematikan gawainya. Ia pun terduduk dan meraih gawainya yang tergeletak di meja samping sofa itu.  Ah, seharian ini ternyata banyak pesan masuk yang tak dihiraukannya. Namun kebanyakan dari obrolan grup. Jemarinya masih terus menelusuri pesan-pesan di layar gawainya hingga terhenti pada sebuah pesan. Pesan dari Toddy. Rupanya, obrolan pagi tadi berlanjut.  Namun, hatinya ragu untuk membuka pesan itu. Berulang kali terhubung dengan mantan suaminya itu, ia selalu kembali terluka. Menjauh adalah pilihannya untuk bisa melanjutkan kehidupan secara normal kembali. Sementara segala keperluan Talitha, ia serahkan pada Talitha untuk mengh

Tentang Kemampuan Diri

Ketika akses pendidikan begitu sulit dijangkau, orang akan mempunyai banyak alasan untuk tidak meningkatkan kemampuan diri. Alasan yang sering didengar adalah jarak dan biaya. Namun untuk saat ini, hal itu sudah tak berlaku lagi.  Teknologi informasi sudah sangat memudahkan kita untuk menghubungi apa saja, siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Dalam hal dunia pendidikan, semua ilmu sudah dengan mudah bisa diakses dengan sentuhan jari. Benar-benar sangat mudah. Adanya telepon pintar pun memudahkan akses itu dilakukan di mana saja. Dunia ada dalam genggaman, demikian disebutkan.  Pertanyaannya, apakah telepon pintar yang kita gunakan sudah kita optimalkan fungsinya?  Sekian banyak aplikasi sudah tersedia yang bisa kita manfaatkan segala keperluan kita. Untuk menulis, banyak pilihan aplikasi yang bisa kita pilih untuk menuangkan apa yang kita pikirkan dan rasakan. Untuk membaca pun demikian, banyak aplikasi membaca bahkan buku-buku yang bisa diakses secara daring. Tentang i

Hati yang Tegar (1)

Tiba-tiba saja, terdengar suara dering gawai. Bella hanya sempat melirik sesaat pada gawainya. Ada pesan masuk. Namun, Ia tak bisa menjawabnya saat ini. Perhatiannya tengah penuh pada padatnya lalu lintas. Berulang kali kakinya menginjak rem dan tangannya sibuk mengarahkan setir dan gigi.  Lalu lintas memang selalu sibuk di setiap pagi. Setelah mengantar Talitha ke sekolah, pagi itu, Bella harus segera pulang  untuk membersihkan rumah, memasak, dan mulai bekerja. Sekarang, semua pekerjaan rumah harus ia kerjakan sendiri. Tak ada lagi asisten rumah tangga. Semua itu harus ia lakukan demi menghemat pengeluaran rumah tangga. Perceraiannya dengan Toddy, suaminya, berbuntut dengan pengurangan nafkah yang ia terima.  Setibanya di rumah, Bella baru sempat membuka gawainya. Dilihatnya pesan yang tadi masuk. Dari Toddy :  “Mungkin kita sebaiknya menjadi teman saja.”  Bella mengernyitkan dahinya. ‘ Apa maksudnya dengan tulisan ini?’ pikirnya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba

Nasihat dalam Jajanan Pasar

Bulan puasa telah tiba. Pagi itu, setelah sahur, Farhan tak dapat menahan rasa kantuknya sehingga ia tertidur di atas  sajadahnya setelah salat subuh.  Ibu menggendong putranya yang masih berumur enam tahun itu ke dalam kamar.  Pagi yang cerah dengan matahari bersinar terang. Hangat sinarnya menembus jendela kamar dan membangunkan Farhan.  Baru saja ia keluar dari kamar, ia melihat Ibu yang datang dari pasar. Tampaknya, ibu berbelanja cukup banyak hari itu. Ada dua tas belanja yang dibawanya.  “Eh, anak ibu sudah bangun, nih,” sapa ibu melihat Farhan berdiri di depan pintu kamarnya. Farhan menjawab dengan mengucek-ucek mata bulatnya. Ia lalu mengikuti ibu yang berjalan ke arah dapur.  “Ibu, habis belanja, ya?” tanyanya dengan nada malas.  “Iya. Nanti ibu mau bikin kolak untuk buka puasa. Farhan suka, ‘kan?” tanya ibu kemudian. Farhan menganggukkan kepalanya sambil membelalakkan matanya demi melihat apa saja yang telah dibeli ibu. “Ya, sudah. Sekarang mandi dulu, ya.” ujar i

Hampa di Tengah Kenangan

Halaman rumah yang penuh dengan mawar warna-warni itu tak lagi berwarna. Bahkan, hijau dedaunan pun sudah banyak berubah menjadi cokelat. Semua tampak seperti tanda kematian telah mengintip di setiap ujung daun itu. Pemandangan sedih itu terlihat jelas dari balik jendela kamar.  Hampir seminggu, Kayla tak menyirami tanaman di halaman seperti rutinitas biasanya. Hanya melati yang masih bertahan tumbuh dengan segar dan makin meranggas. Rumput liar pun mulai tumbuh di sana-sini.  Ini bukan musim hujan. Kayla tak bisa mengandalkan air hujan untuk menyirami tanamannya. Akan tetapi, ia tak juga tergerak untuk berdiri dan mengambil selang air untuk menyirami bunga-bunga itu. Seolah kakinya pun lemas tak berdaya seperti mawar-mawarnya yang tampak lemah lunglai menahan teriknya matahari siang itu.   ‘Untuk apa?’ pikirnya merasa percuma.’kalau memang sudah waktunya akan mati, ya matilah.’ desahnya putus asa. Ia berjalan keluar kamar dengan terseok. Bosan dan lelah dirasakannya setelah me

Hujan di Masa Pandemi (6)

Akhir minggu itu, Aira mengkhususkan diri untuk masa penyembuhan. Obat yang terakhir dibeli ibu sangat membuat Aira mengantuk. Aira hanya bangun untuk salat, makan, minum obat dan ke toilet. Tidak ada aktivitas lain yang mengharuskannya terjaga. Hujan yang turun menciptakan suasana redup dan justru semakin membuat nyaman untuk istirahat. “Aira ke mana, bu?” tanya Tania, kakak Aira, pada ibu. “Tidur … ssstt jangan ganggu dulu.” kata ibu yang kemudian melihat Tania hendak masuk ke kamar Aira. “Biar dia istirahat dulu supaya batuknya sembuh.” “Kok lama ya sembuhnya?” Tania menampakkan kekhawatirannya. “Sebaiknya Aira di tes aja, bu.” Tania mencoba memberi saran kepada ibu. “Tes apa?” tanya ibu. “Ya tes covid-lah, bu. Di swab atau PCR, gitu!” tegas Tania yang membuat mata ibu mendelik. Ibu terdiam, tetapi menyimak saran Tania. “Enggak apa, bu. Setidaknya kita jadi tahu sedini mungkin.” Tania berusaha menenangkan Ibu. “Kalau Aira positif, berarti kita semua harus di tes juga, do

Hujan di Masa Pandemi (5)

Hujan deras kembali turun membasahi bumi. Ibu menutup seluruh jendela agar udara di dalam rumah tidak semakin dingin. Dilihatnya Aira yang sedang mengerjakan pekerjaannya sembari menutupi dirinya dengan selimut di tempat tidur. Tempat sampah di samping tempat tidurnya sudah hampir penuh dengan tissue yang terkena lendir hidung dan dahaknya. Ibu menghela nafas dalam melihat putrinya yang belum juga sehat.  “Ra, nanti sore, ibu coba cari obat batuk lain, ya. Siapa tahu ada yang lebih ampuh,” ujar ibu. Aira mengangguk sambil menyusut hidungnya. “Kalau capek, istirahat, Ra. Jangan diforsir tenaganya.” Ibu berusaha menasihati Aira yang masih juga sibuk dengan pekerjaannya. “Ya, habis bagaimana dong? Kalau kerjaan hari ini enggak selesai, bisa numpuk besok-besoknya,” jelas Aira dengan suara sengau.   Sore hari, hujan sedikit mereda. Ibu bergegas pergi ke apotik. Di Apotik, ibu mencoba peruntungan untuk membeli antibiotik secara bebas. Namun percuma, petugas apotik tidak bisa meng

Hujan di Masa Pandemi (4)

Obat batuk yang diberi Ibu tidak benar-benar menyembuhkan sakit yang diderita Aira. Bangun tidur pagi itu, Aira merasakan hidungnya tersumbat dan pilek yang mengganggu pernapasannya. Ibu makin cemas. Suara batuk Aira terdengar makin mengkhawatirkan. Ibu pun mulai waspada dengan kesehatannya sendiri dan anggota keluarga yang lain.  “Bu, kok Aira jadi pilek, ini. Obat yang dari ibu itu sudah habis.” Berkata Aira pada Ibu dengan suara yang parau.  “Lah, kamu kemarin kehujanan, kan? Padahal kemarin aja masih batuk. Kesehatanmu belum sehat betul, malah ketambahan dengan kehujanan,” ujar ibu.  “Ya, habis bagaimana, dong? Kemarin kalau tunggu hujan reda, Aira bisa pulang kemaleman. Sekarang aja masih gerimis gini,” jawab Aira beralasan. Dilihatnya langit masih tampak putih seperti kemarin sore. Hujan sejak kemarin belum juga selesai, seolah membayar hutang kepada bumi yang kepanasan dan kekeringan. “Mungkin kamu perlu antibiotik, Ra,” ujar Ibu sambil berpikir.“tapi antibiotik hany

Hujan di Masa Pandemi (3)

Tak terasa, hari sudah menjelang siang. Pekerjaan yang harus diselesaikan belum juga selesai. Panas terik matahari terlihat dari jendela ruang kerjanya. Aira masih fokus menatap layar monitor laptopnya, menyunting beberapa redaksi sambil berkoordinasi dengan tim kerjanya.  Tiba-tiba saja, suasana ruang kerjanya menggelap. Lampu-lampu neon di seluruh ruang kerja masih menyala, tetapi suasananya tidak seterang sebelumnya. Dari jendela yang bening tanpa tirai itu, tampak jelas awan gelap yang bergerak dengan cepat menutupi matahari. Perlahan tapi pasti, hujan rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan deras membasahi bumi yang kekeringan. Dari jendela lantai tiga tempat Aira bekerja, terlihat para pengendara motor menepi untuk menggunakan jas hujan. Namun, banyak pula yang memutuskan berteduh di teras toko-toko. Aira menghela nafas panjang. Ia berharap hujan segera reda dan ia bisa pulang tanpa kehujanan. Ia pun kembali mengerjakan pekerjaannya sambil menunggu re

Hujan di Masa Pandemi (2)

Pagi yang cerah membawa semangat kerja pada hari itu. Aira segera mempersiapkan diri untuk menyerahkan beberapa berkas pekerjaan yang sudah dikerjakannya. Meski masih batuk-batuk, Aira harus berangkat juga. “Mumpung hari cerah, lebih baik berangkat segera.” Pikir Aira sambil memasang jam tangannya. “Mau ke mana?” tanya Ibu demi melihat putrinya yang masih batuk itu sudah berpakaian rapi. “Ke kantor, bu. Ada beberapa berkas yang harus disampaikan ke bagian administrasi,” jawab Aira sambil menuju meja makan. “Apa enggak bisa ditunda? Masih batuk begitu, kok? Sarapan dulu lho, ya. Jangan lupa obatnya diminum!” Kata Ibu dengan cemas. “Iya, bu. Ini, aku makan, nih,” ujar Aira yang kemudian menyuapkan sarapan ke mulutnya. Separuh sarapannya ditinggalkan, sementara mulutnya masih mengunyah makanan. Ia bangkit dari kursi makan dan mengambil kunci motor yang tergantung di dekat pintu garasi.  Motor distarter untuk memanaskan mesinnya. Lalu, ia kembali ke meja makan untuk menyelesaik

Hujan di Masa Pandemi (1)

“Ini sudah bulan Desember, tetapi hujan belum turun juga. Cuaca terasa panas sekali. Ah, pergeseran musim ini meresahkan juga. Kasihan tanaman-tanamanku.” Aira bergumam sendiri sambil menyirami tanaman di halaman rumahnya. Ia mengeluhkan cuaca panas hari itu. Semestinya hari-hari itu sudah turun hujan yang lebat. “Apa mungkin ini masih masa pancaroba, ya?” tanyanya dalam hati. Ia pandangi langit yang berawan tetapi hujan belum juga turun. Sudah dua tahun, pandemi covid melanda dunia. Selama itu pula, semua orang selalu was-was dengan segala hal yang membuat sakit yang menyerang organ pernapasan. Namun, hidup di iklim tropis memang harus selalu waspada dengan kondisi kesehatan. Musim panas bisa mengakibatkan dehidrasi, stamina melorot, dan ujung-ujungnya adalah penyakit flu akan mudah menyerang. Musim pancaroba pun bisa saja membuat mudah sakit. Seharian cuaca panas, lalu menjelang malam, cuaca langsung berganti hujan. Hujan yang turun pun bisa sekedar rintik-rintik ataupun

Renungan 1 Maret 2022

1 Maret 2022. Ah, cepat sekali waktu berlalu. Tahun 2022 sudah memasuki bulan ketiga. Mau tak mau, aku harus menengok ke belakang sebentar. Apa saja yang sudah aku lakukan sejak awal tahun ini?  Awal tahun 2022 adalah hari-hari yang berkelanjutan dari hari-hari sebelumnya. Aku tenggelam di dalam berjuta-juta kata untuk kegiatan menulis. Dari kegiatan menulis itu, aku bertemu banyak sekali orang-orang yang hobi maupun pekerjaannya menulis. Dengan begitu, beberapa ajakan menulis antologi pun berdatangan. Ada yang kusambut, ada yang kutolak. Demikian pula dengan kelas menulis. Hingga akhir February kemarin, aku masih bergelut dengan pikiranku sendiri, bagaimana membuat fiksi yang baik dan bisa diterima dengan baik oleh Editor.  Sebenarnya, apa yang kucari?  Aku mau mencari penghasilan. Setelah sekian lama, aku tidak bekerja dan sibuk dengan kegiatan rumah tangga. Aku terbentur situasi yang membuatku harus berpenghasilan sendiri. Aku sudah mencoba untuk bekerja di sebuah instan