Halaman rumah yang penuh dengan mawar warna-warni itu tak lagi berwarna. Bahkan, hijau dedaunan pun sudah banyak berubah menjadi cokelat. Semua tampak seperti tanda kematian telah mengintip di setiap ujung daun itu. Pemandangan sedih itu terlihat jelas dari balik jendela kamar.
Hampir seminggu, Kayla tak menyirami tanaman di halaman seperti rutinitas biasanya. Hanya melati yang masih bertahan tumbuh dengan segar dan makin meranggas. Rumput liar pun mulai tumbuh di sana-sini.
Ini bukan musim hujan. Kayla tak bisa mengandalkan air hujan untuk menyirami tanamannya. Akan tetapi, ia tak juga tergerak untuk berdiri dan mengambil selang air untuk menyirami bunga-bunga itu. Seolah kakinya pun lemas tak berdaya seperti mawar-mawarnya yang tampak lemah lunglai menahan teriknya matahari siang itu.
‘Untuk apa?’ pikirnya merasa percuma.’kalau memang sudah waktunya akan mati, ya matilah.’ desahnya putus asa.
Ia berjalan keluar kamar dengan terseok. Bosan dan lelah dirasakannya setelah menangis dan meratapi nasibnya di atas pembaringan. Kemudian ia duduk termangu di teras belakang. Pandangannya kosong, pikirannya menerawang ke dunia yang tak jelas batasnya. Hatinya merasa hampa.
‘Mengapa aku di sini?’ renungnya dalam hati. ‘Yang kutahu, aku di sini karena aku harus selalu ada di sisinya. Susah maupun senang, aku selalu di sisinya. Sesulit apapun kehidupan yang harus kuhadapi, aku tetap di sini. Sekarang, aku masih di sini, tapi untuk apa lagi?’
Kepalanya terasa berat. Rasanya ingin menangis, tapi air matanya telah kering. ‘Lalu…sekarang aku harus apa?’
Ia melihat sekitar rumah. Lantai rumah yang berdebu, meja makan yang berantakan, tempat cuci piring yang penuh dengan tumpukan piring dan gelas kotor. Sejak awal pernikahan, ia telah memutuskan untuk tidak memiliki asisten rumah tangga. Ia mau mengurus rumah mungil mereka sendiri saja.
Kayla hanya menghela nafas panjang. Ah, jangankan rumah, dirinya sendiri saja belum terurus begini. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, hingga kedua telapak tangannya meraba rambutnya yang berantakan. Dilepasnya ikat rambut, lalu Ia rapikan dengan jemarinya. Kemudian Ia ikat kembali rambutnya yang sudah memanjang sebahu.
Rasa laparnya telah memberi kekuatan pada kakinya untuk bangkit menuju dapur. Ia putuskan untuk mencuci tumpukan piring dan gelas-gelas kotor terlebih dahulu sambil merebus air untuk minum teh.
Sebuah panci bergagang yang tergantung diambilnya untuk memasak mie instan. Selagi menunggu air mendidih, mata sembabnya memandang berkeliling ke sekitar dapur. Beberapa perangkat dapur yang diperoleh dari kado pernikahannya bersama Bima masih terpakai setelah 10 tahun berselang. Sejumlah kenangan pun berkelebat di dalam benaknya. Pinggan biru pemberian Tante Meyrin. Satu set peralatan masak dari Mama. Oven listrik dari om Baskoro. Beberapa peralatan rumah tangga lainnya dibeli di toko serba ada bersama Bima setelah seminggu dari hari pernikahan. Kenangan itu menyesakkan dadanya. Tanpa terasa, setetes air mata mengalir dari sudut mata kirinya.
Semua kenangan itu benar-benar telah menjadi kenangan. Setelah sepuluh tahun, kenyataan harus dihadapi karena tanda-tanda hadirnya buah cinta tak juga hadir. Tangannya pun meraba perutnya yang kurus. Kini, hanya perih lambungnya saja yang dirasa karena lapar.
Pernikahannya tak berlanjut bahagia. Seminggu lalu, Bima memutuskan untuk berpisah. Suaminya itu menyatakan alasan rasa lelahnya. Mereka telah berusaha ke sana kemari untuk berkonsultasi, berobat, dan terapi. Semuanya itu telah menghabiskan banyak biaya. Awal mengucap cerai pun, Bima telah menudingnya sebagai istri yang mandul.
Kayla menghapus air matanya dan melanjutkan memasak dengan hati hampa. Setelah matang, ia bawa makanan itu ke meja makan dan memakannya perlahan. Kayla tak bisa menikmatinya dengan wajar. Entah kenapa, makanan itu terasa pahit di lidahnya. Belum habis makanan itu, selera makannya sirna. Ia sudahi makannya dengan mencicip teh panasnya.
Terdengar pintu depan diketuk seseorang. Kayla menoleh dengan malas. Namun bayang-bayang Mama tampak dari balik jendela ruang tamu. Ia bangkit dengan malas dan membukakan pintu.
“Assalamualaikum,” ucap salam Mama dan Tante Meyrin setelah pintu dibuka.
“Wa’alaikumsalaam.” Kayla menjawab perlahan.
Tanpa aba-aba, Mama langsung memeluk Kayla. Tante Meyrin, adik kandung Mama, pun mendekat dengan pandangan penuh tanya.
Tubuh kurus Kayla tenggelam dalam pelukan Mama. Seperti anak kecil yang merasakan nyamannya pelukan ibu. Kayla membalas pelukan Mama dengan lemah.
Kemudian Mama melonggarkan pelukan dan menciumi wajah Kayla yang pucat.
“Kamu sudah makan?” tanya Mama yang hanya dibalas gelengan kepala. “Yuk, kita makan bersama.” Mama menggandeng tangan Kayla menuju meja makan. Dilihatnya sepiring mie instan yang tak habis dimakan Kayla tadi.
“Mey, ambilkan piring di dapur, ya!” perintah Mama pada tante Meyrin.
“Ya, Kak.” Jawab Tante Meyrin tanpa basa-basi.
Kayla hanya menatap kosong pada mereka berdua yang kemudian sibuk menyiapkan makanan di meja. Tante Meyrin membuka bungkusan makanan yang dibawanya. Mama membereskan dan menata makanan itu di atas meja.
Sesaat Mama sadar, Kayla hanya berdiri terbengong saja.
“Sini, Sayang. Duduk sini. Kita makan bersama, ya.” Ujar Mama lembut. Mama merasa sangat prihatin melihat putrinya yang tampak tak mengurus diri.
“Kayla enggak nafsu makan, Ma. Tadi sudah coba makan, tuh. Enggak habis.” Kata Kayla sambil menunjuk piring berisi mie instan di atas meja.
“Ya, tapi kamu harus makan. Supaya jangan sampai sakit,” kilah Mama sambil membelai punggung Kayla. Namun Kayla hanya meraih gelasnya dan minum seteguk.
“Sabar ya, Sayang,” kata Tante Meyrin sambil menggenggam tangan Kayla dari seberang meja. Terkejut mendengar Tante Meyrin berkata begitu, Kayla memandang Tante Meyrim dan Mama bergantian.
“Jadi, Mama dan Tante sudah tahu?”
Giliran Mama dan Tante Meyrin yang saling pandang.
“Iya. Kita semua sudah tahu, kurang lebih seminggu yang lalu.” Jawab Mama yang kemudian terdiam.
“Bagaimana Mama bisa tahu?” tanya Kayla lagi.
“Ada surat dari Pengadilan Agama untukmu, tapi dialamatkan ke rumah Mama.” Mama menjelaskan sambil mengeluarkan sebuah surat beramplop cokelat. Kayla menatap surat itu dan tangisnya tak dapat ditahannya. Serta merta, Tante Meyrin bangkit dari duduknya dan menghampiri. Dipeluknya Kayla dari belakang.
Mama pun tak dapat menahan rasa sedihnya. Hatinya terluka melihat putrinya tidak bahagia seperti impiannya dulu.
“Sebenarnya , ada apa dengan kalian? Tidak bisakah dibicarakan baik-baik?” tanya Tante Meyrin yang masih memeluk Kayla.
“Karena... Kayla belum hamil juga. Mama, Tante juga tahu, kan? Kami sudah berusaha segala konsultasi, terapi, dan entah apa lagi...,” jelas Kayla dalam isak tangisnya. “Sudah sejak sebulan lalu, Bima menyatakan bahwa dia sudah tidak mau berusaha lagi. Dia lelah, Ma ...” lanjutnya dengan intonasi lebih keras. Ada nada kemarahan yang tertahan.
“Astaghfirullah...” ucap Mama dan Tante Meyrin bersamaan.
“Apa ... ada perempuan lain?” tanya Mama berhati-hati.
Kayla hanya menggelengkan kepala.
“Aku enggak tahu, Ma. Semua tampak normal-normal aja. Tapi, ... ya, begitu. Itu keputusannya.” desah Kayla kemudian sambil menghapus air matanya. “Sekarang, aku enggak tahu lagi, harus apa? Bagaimana?” tanya Kayla perlahan, seolah bicara sendiri.
“Kamu enggak sendiri, Sayang. Masih ada Mama, Tante Meyrin. .... Kamu tidak sendirian, Sayang!” ucap Mama menguatkan. Air matanya pun tak tertahankan.
Hari itu, Mama memutuskan untuk menginap. Hati seorang ibu telah bicara. Putrinya tengah membutuhkan kehadirannya. Kayla seolah kembali seperti anak kecil yang belum bisa mengurus diri apalagi mengurus rumah. Kesedihan telah merenggut semangat hidupnya, hingga untuk urusan mandi pun, Mama harus mengingatkan dan menuntunnya. Ia tahu, Kayla membutuhkan teman untuk mendapatkan kembali semangat hidupnya.
Malam itu, suasana rumah seperti hidup. Rumah sudah tampak bersih. Ada suara televisi. Teh hangat dan camilan sudah tersedia di ruang tengah. Seorang ibu yang masih terlihat aura kecantikannya itu tampak sedang menelpon. Ia berpesan untuk dibelikan beberapa kebutuhan dapur besok. Kayla yang sudah selesai mandi sore menghampiri dan duduk di sebelahnya. Mengetahui hal itu, ia pun menggeserkan pantatnya.
“Nah..., kalau sudah mandi, ‘kan seger,” katanya sambil mencium Kayla.
Kayla tersenyum dan merasakan kedamaian kasih sayang seorang ibu.
“Terima kasih, ya, Ma,”
“Iya....”
“Tapi, Ma. Masihkah aku boleh berharap?...berharap pada kehidupan akan berjalan baik-baik saja seperti sebelumnya? Masih bolehkah aku merasakan bahagia yang sewajarnya diharap setiap orang?” tanya Kayla beruntun.
“Tak ada yang bisa menghalangi seseorang mempunyai harapan. Semua orang punya hak untuk bahagia, termasuk kamu,” jawab Mama dengan sebuah nasihat. Mama menarik tangan Kayla dan menggenggamnya. “Ada hal yang harus kita ingat, bahwa semua yang terjadi sudah menjadi ketetapanNya. Kita hanya menjalani peran kita. Seperti saat ini, Mama di sini menemani kamu untuk bisa melewati semuanya.” Lanjutnya kemudian dengan tersenyum.
Tak ada yang bisa membantah, kehadiran Mama telah sedikit menyadarkan Kayla untuk hadir kembali ke kehidupan nyata. Mama pun sendiri sekarang, sudah tak ada Papa sejak lama. Bedanya, Papa tidak meninggalkannya. Papa berpulang karena sakit jantung yang dideritanya.
Dua perempuan saling menghibur dan saling menguatkan. Malam itu terasa lebih hangat dengan hadirnya secangkir teh hangat yang menemani.
Komentar
Posting Komentar