Tak terasa, hari sudah menjelang siang. Pekerjaan yang harus diselesaikan belum juga selesai. Panas terik matahari terlihat dari jendela ruang kerjanya. Aira masih fokus menatap layar monitor laptopnya, menyunting beberapa redaksi sambil berkoordinasi dengan tim kerjanya.
Tiba-tiba saja, suasana ruang kerjanya menggelap. Lampu-lampu neon di seluruh ruang kerja masih menyala, tetapi suasananya tidak seterang sebelumnya. Dari jendela yang bening tanpa tirai itu, tampak jelas awan gelap yang bergerak dengan cepat menutupi matahari. Perlahan tapi pasti, hujan rintik-rintik kemudian berubah menjadi hujan deras membasahi bumi yang kekeringan. Dari jendela lantai tiga tempat Aira bekerja, terlihat para pengendara motor menepi untuk menggunakan jas hujan. Namun, banyak pula yang memutuskan berteduh di teras toko-toko.
Aira menghela nafas panjang. Ia berharap hujan segera reda dan ia bisa pulang tanpa kehujanan. Ia pun kembali mengerjakan pekerjaannya sambil menunggu redanya hujan.
Satu jam kemudian, pekerjaannya sudah selesai dan ia bisa pulang lebih cepat. Namun, hujan belum juga reda. Langit tak segelap tadi, tetapi tampak putih merata di sepanjang mata memandang. Orang bilang, hujan dengan langit putih seperti itu akan sangat lama redanya. Aira pun memutuskan untuk pulang dengan menggunakan jas hujannya.
Seperti biasa, jalanan menjadi lebih terasa macet kalau ada hujan. Tangan dan kaki Aira sudah basah dan kedinginan. Sesekali ia terbatuk-batuk karena tenggorokannya kembali terasa gatal. Ia sudah sangat merindukan rumah dan meringkuk di dalam kamarnya yang hangat.
Sesampainya di rumah, ibu telah menunggu dengan cemas di teras rumah. Ibu mengawasi Aira yang menggigil kedinginan masuk ke dalam rumah.
“Segera mandi, Ra. Pakai air panas, nih!” Perintah ibu sambil menunjuk ceret panas di dapur. Aira menjawab dengan beberapa kali bersin sambil menuju dapur dan mengambil ceret panas itu.
Komentar
Posting Komentar