Tiba-tiba saja, terdengar suara dering gawai. Bella hanya sempat melirik sesaat pada gawainya. Ada pesan masuk. Namun, Ia tak bisa menjawabnya saat ini. Perhatiannya tengah penuh pada padatnya lalu lintas. Berulang kali kakinya menginjak rem dan tangannya sibuk mengarahkan setir dan gigi.
Lalu lintas memang selalu sibuk di setiap pagi. Setelah mengantar Talitha ke sekolah, pagi itu, Bella harus segera pulang untuk membersihkan rumah, memasak, dan mulai bekerja. Sekarang, semua pekerjaan rumah harus ia kerjakan sendiri. Tak ada lagi asisten rumah tangga. Semua itu harus ia lakukan demi menghemat pengeluaran rumah tangga. Perceraiannya dengan Toddy, suaminya, berbuntut dengan pengurangan nafkah yang ia terima.
Setibanya di rumah, Bella baru sempat membuka gawainya. Dilihatnya pesan yang tadi masuk. Dari Toddy :
“Mungkin kita sebaiknya menjadi teman saja.”
Bella mengernyitkan dahinya. ‘Apa maksudnya dengan tulisan ini?’ pikirnya. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja menuliskan pesan seperti itu. Terakhir chatnya kepada Toddy hanyalah meminta tanggung jawabnya untuk tetap menafkahi dirinya dan Talitha. Setelah itu, sewindu berselang sudah tak ada komunikasi. Namun pagi ini, Toddy bicara tentang pertemanan.
Bella hanya tersenyum kecut. Ia pun meletakkan gawainya di atas meja makan dan membiarkan chat itu tak terbalas. Ia segera mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah lalu menuju dapur. Ia mencuci piring dan membersihkan dapur, tetapi pikirannya tak bisa juga berhenti memikirkan pesan dari Toddy tadi.
‘Apa mungkin dia mulai merasa menyesal?’ pikirnya sesaat, tapi sepertinya hal itu sangat tidak mungkin. Ia ingat bagaimana Toddy begitu yakin akan menikahi sekretarisnya dengan atau tanpa izin darinya. Sungguh keterlaluan.
Bagaimana bisa keputusan demikian bisa disetujui dengan mudah oleh seorang istri? Bisa-bisanya memaksakan ide poligami dengan alasan syahwat. Namun ternyata pertengkaran demi pertengkaran berujung dengan perceraian. Keputusan itu begitu mantap dan sedikit pun tak tampak keraguan. Hingga di persidangan pun, tak lagi ia temukan tatapan penuh cinta yang biasa dilihatnya. Pria berperawakan tinggi tegap itu begitu dingin, seperti tak mengenalnya sama sekali.
Luka hatinya seolah basah lagi. Ada amarah yang tertahan, dan itu mendorong Bella untuk membalas chat dari Toddy.
“Seorang teman tak akan tega menyakiti temannya yang lain. Sedangkan kamu? Kamu sudah lakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan seorang teman. Tak ada kesetiaan. Kalaupun sudah tak ada cinta untukku, layakkah kau perlakukan ibu dari anakmu serupa baby sitter dan penjaga rumah saja seperti ini?”
Amarah itu menggetarkan seluruh tubuh Bella, hingga jemarinya bergerak cepat menuliskan balasan chat itu. Kedamaian pagi itu sudah sangat terganggu dengan emosi yang membakar hatinya.
‘Tidak. Aku punya hak untuk bahagia. Aku punya hak untuk menetapkan arah hidupku tanpa pengaruh buruk apapun, termasuk Kamu.’ bisik hatinya geram sambil menatap layar chat itu.
Demikian tekadnya untuk tegar di atas perih hatinya, hingga tak sadar, ia gelengkan kepala dengan kuat. Gawai itu pun dimatikannya.
*****
Komentar
Posting Komentar