Langsung ke konten utama

Nasihat dalam Jajanan Pasar

Bulan puasa telah tiba. Pagi itu, setelah sahur, Farhan tak dapat menahan rasa kantuknya sehingga ia tertidur di atas  sajadahnya setelah salat subuh.  Ibu menggendong putranya yang masih berumur enam tahun itu ke dalam kamar. 

Pagi yang cerah dengan matahari bersinar terang. Hangat sinarnya menembus jendela kamar dan membangunkan Farhan. 
Baru saja ia keluar dari kamar, ia melihat Ibu yang datang dari pasar. Tampaknya, ibu berbelanja cukup banyak hari itu. Ada dua tas belanja yang dibawanya. 
“Eh, anak ibu sudah bangun, nih,” sapa ibu melihat Farhan berdiri di depan pintu kamarnya. Farhan menjawab dengan mengucek-ucek mata bulatnya. Ia lalu mengikuti ibu yang berjalan ke arah dapur. 
“Ibu, habis belanja, ya?” tanyanya dengan nada malas. 
“Iya. Nanti ibu mau bikin kolak untuk buka puasa. Farhan suka, ‘kan?” tanya ibu kemudian. Farhan menganggukkan kepalanya sambil membelalakkan matanya demi melihat apa saja yang telah dibeli ibu. “Ya, sudah. Sekarang mandi dulu, ya.” ujar ibu sambil menggandeng tangan Farhan. 

***** 

Setelah salat ashar, ibu mengajak Farhan jalan-jalan sore. Farhan senang sekali karena di setiap sore pada bulan Ramadan selalu banyak yang berjualan jajanan pasar. 
“Bu, aku mau itu … itu … itu….” berkata Farhan sambil menunjuk-nunjuk jajanan pasar. 
“Hmmm, jangan banyak-banyak, Han. Nanti enggak habis, lho,” kata ibu dengan tersenyum melihat ulahnya. 
“Habis, kelihatannya enak, sih. Farhan jadi mau semua,” 
Pedagang makanan itu pun tertawa melihat ulah Farhan yang menggemaskan. Ibu segera memilih makanan yang akan dibelinya. 
“Sudah. Ini aja ya. Tadi di rumah, ibu juga sudah bikin kolak.” Kata ibu menjelaskan. Farhan mengangguk senang. Ia sudah membayangkan enaknya jajanan itu. 
“Hmmm…,” batinnya. Hati senangnya membuat langkahnya berloncat-loncatan di samping ibu. 

Sesampainya di rumah, ibu menyiapkan semua jajanan pasar tadi di atas meja makan. Farhan mengikuti sambil terus saja berceloteh tentang jajanan yang dijual di pasar Ramadan tadi.
Nenek yang sedang mengaji di dalam kamar mendengar suara celoteh Farhan. 
“Habis beli apa?” tiba-tiba Nenek bertanya sambil keluar dari kamarnya. “Seru amat Cucu Nenek ini, sih. Hmm, habis jalan-jalan, ya?” tanyanya pada Farhan. 
“Iya, Nek. Tadi Farhan lihat baaanyak sekali jajanan. Farhan mau semua, tapi ibu sudah beli itu.” Kata Farhan sambil menunjuk jajanan di atas meja makan. 
Nenek dan Ibu tertawa mendengarnya. Kak Farida yang sedang membaca di ruang tengah pun ikut tertawa dan bergabung duduk di meja makan. 
“Coba kita lihat, ada apa saja jajanannya, ya? O… ada klepon, lemper, lepet. Hmmm… enak semua itu.” Ujar Nenek sambil duduk di kursi makan. 
“Kalian tahu enggak. Kalau dibalik jajanan ini, ada artinya,” kata nenek berteka-teki. 
“Arti? Apa maksudnya, Nek? Kok bisa makanan punya arti?” tanya Farida bingung. 
Nenek tersenyum dan kemudian menunjuk lemper yang terhidang di atas meja.
“Ini lemper. Orang Jawa mengartikan lemper dengan Yen dielem atimu ojo memper. Artinya, saat dipuji orang lain, hati kita tidak boleh sombong,” kata Nenek menjelaskan. 
“Oo begitu, ya. Jadi kata lemper itu singkatan ya,” Farida berkomentar. 
“Farhan enggak sombong, ‘kan, Nek?” celetuk Farhan sambil menatap Nenek dengan mata bulatnya. 
“Hehehe … , iya, Sayang. Jadi, dari lemper ini, kita diingatkan untuk senantiasa bersikap rendah hati karena masih banyak orang yang lebih hebat di luar sana.” 
Kemudian Nenek menunjuk piring berisi klepon. 
“Nah, yang ini … Farhan tahu namanya?” tanya Nenek berteka-teki lagi. Farhan hanya bisa menggeleng. “Farida tahu?” tanya Nenek lagi.
“Itu klepon, Nek.” Jawab Farida cepat.
“ Iya. Menurut orang Jawa, klepon itu  singkatan dari Kanti lelaku pesti ono. Artinya, kita harus prihatin supaya, kalau ada masalah, akan ada jalan keluar,” 
“Maksudnya gimana, tuh, Nek?” tanya Farida bingung.
“Klepon itu melambangkan ketepatan, ketelitian, keuletan, kelembutan, dan kesabaran dalam melakukan berbagai pekerjaan. Semua itu harus dilakukan agar mendapatkan hasil yang baik.” Jelas Nenek panjang lebar. Namun, Farida menjadi paham dan jelas. Sementara Farhan menyimak seperti sedang mendengarkan dongeng. 
“Terus, Nek. Kalau yang ini, ceritanya gimana?” tanya Farhan mengejutkan. 
“Kalau yang ini. Lepet namanya. Bagi orang Jawa, lepet memiliki arti tersendiri, yaitu Elek e disimpen sing rapet. Artinya, kejelekannya disimpan yang rapat. Kejelekan itu ‘kan aib. Jadi,  jangan pernah diumbar apalagi malah dijadikan bahan gosip. ‘Kan enggak baik, tuh. Sebisa mungkin tutup dan simpanlah sendiri.”  
“Tuh, Da. Denger apa kata Nenek. Jangan asal curhat di sosmed, ya,” ujar ibu sambil membawa kolak dari dapur. 
“Ih, enggak kok.” Farida berkilah dengan mulut manyunnya. Namun, roman wajahnya segera berubah demi mencium aroma kolak yang dibawa Ibu. “Waah, sedapnya….” Komentarnya kemudian meniru suara Ipin dan Upin. 
“Aku mau itu, ibu,” kata Farhan menimpali. 
“Eee… sabar. Hati-hati, masih panas.” Kata ibu mengingatkan. 
Nenek tertawa geli melihat ulah cucu-cucunya itu. 
“Nah, kalian tahu kalau ini kolak, ‘kan,” kata Nenek menengahi keriuhan itu. 
“Wah, ada kisahnya juga, nih?” tanya Farida.
“O iya. Asal usul nama kolak menurut orang Jawa berasal dari kata "Khalaqa" yang artinya menciptakan, dan "Khaliq" atau Sang Pencipta.” Nenek berhenti sesaat dan memperhatikan cucu-cucunya yang cerdas itu bergantian. Farida nampak mengangguk-anggukkan kepala tanda takjub. 
“Baru kali ini Ida tahu, Nek,” ujar Farida. 
“Ya, makanan ini umumnya ‘kan ada di bulan Ramadan. Seperti sekarang ini, kita berlomba-lomba mendekatkan diri kepada Allah. Di saat buka puasa, kita makan kolak yang mengingatkan kita bahwa kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.” jelas Nenek. 

Adzan magrib pun terdengar berkumandang. Seluruh keluarga berkumpul di meja makan. 
“Alhamdulillah,” seru semuanya berucap syukur telah menunaikan puasa hari itu. 

***** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi ...

Menulis Lagi

Gabung dengan berbagai komunitas itu membuat kita terlibat dengan banyak ragam aktifitas dan  memunculkan ide untuk aktifitas positif baru.  Salah satu komunitas yang kuikuti di facebook ialah ITB Motherhood, suatu group mamah-mamah alumni Institut Gajah di Bandung. Tidak terlalu aktif di dalam group tersebut, tapi kalau ada konten menarik bisa jadi akan urun komentar atau benar-benar akan terlibat di dalamnya.  Suatu malam, menjelang istirahat kusempatkan buka hp dan sesaat berhenti di suatu postingan tentang menulis di blog. Hmmmm menarik.  Ku buka blog ku ini.. ah , ternyata sudah sangat lama tak menulis disini meski kegiatan menulis masih saja berlanjut, tapi menulis di media lain.  Ku pikir, ini aktifitas yang bagus untuk menantang diri ku sendiri untuk disiplin menulis, dan juga melatih kemampuan ku dalam hal menulis.  Kalau kuingat mengapa dulu ingin punya blog adalah ingin punya tempat untuk curhat. Semacam diary pribadi yang biasanya menjadi rahasi...

Melanjutkan Pendidikan dengan Minat

Masa SD hingga SMA Ketika SD, ada kebiasaan kami untuk bertukar biodata. Kebiasaan tersebut menjadi sesuatu yang penting ketika menjelang kelulusan SD, karena, bisa jadi, kami tidak bertemu lagi di pendidikan selanjutnya. Bisa karena tidak satu sekolah yang sama atau pindah keluar kota. Salah satu point yang harus diisi adalah cita-cita.  Saat berusia 12 tahun, aku masih bingung untuk menetapkan cita-cita apa yang ingin ku raih. Karena itu, aku mengikuti pilihan teman-teman ku yang kebanyakan memilih sebagai insinyur pertanian, meski aku tak tahu bagaimana dan apa yang harus aku lakukan untuk meraihnya selain rajin belajar.  Ketika SMP, perhatian ku lebih banyak ke kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, OSIS, dan pelajaran keterampilan pilihan yang bisa berganti-ganti di setiap semesternya. Hal itu membuat wawasan dan keterampilan ku menjadi beraneka di bidang bahasa, olah raga dan seni. Sementara minat khusus yang berhubungan dengan mata pelajaran belum muncul. Sekolah ku...