Sehari ini terasa begitu sibuk dengan urusan antar jemput Talitha, dan rutinitas harian. Usai makan malam dilihatnya Talitha kembali ke kamarnya dan mengerjakan tugas sekolahnya. Bella merebahkan tubuhnya di sofa untuk melepaskan lelahnya. Ia pun meletakkan kedua kakinya di atas lengan sofa.
Sesaat kemudian, ia teringat bahwa seharian ini, ia telah mematikan gawainya. Ia pun terduduk dan meraih gawainya yang tergeletak di meja samping sofa itu.
Ah, seharian ini ternyata banyak pesan masuk yang tak dihiraukannya. Namun kebanyakan dari obrolan grup. Jemarinya masih terus menelusuri pesan-pesan di layar gawainya hingga terhenti pada sebuah pesan. Pesan dari Toddy.
Rupanya, obrolan pagi tadi berlanjut.
Namun, hatinya ragu untuk membuka pesan itu. Berulang kali terhubung dengan mantan suaminya itu, ia selalu kembali terluka. Menjauh adalah pilihannya untuk bisa melanjutkan kehidupan secara normal kembali. Sementara segala keperluan Talitha, ia serahkan pada Talitha untuk menghubungi sendiri ayah kandungnya itu.
‘Talitha sudah besar, meski belum bisa disebut dewasa secara penuh. Di usianya yang ke-15 ini, ia sudah bisa berkomunikasi sendiri untuk meminta kebutuhannya.’ Pikir Bella. ‘Lalu, mau apa lagi dia mencoba menghubungiku begini? Bukannya sudah menikah lagi?’ pikirnya lagi dengan heran.
Dengan hati ragu, jari telunjuknya pun menyentuh baris pesan dari Toddy.
“Tidak bisakah kita berdamai? Setidaknya untuk Talitha. Atau kau memang sedang mengajari Talitha tentang kebencian dan permusuhan?”
Seolah tak percaya, Bella membaca tulisan Toddy pada layar gawainya. Matanya terbelalak. ‘Apa-apaan ini? Toxic banget, sih!’ bisiknya tak percaya. Wajahnya menegang dan kedua alis tebalnya pun berkerut. Setelah berkata manis seolah melambaikan bendera perdamaian, dengan jelas Toddy menebar jala tuduhan.
‘Ah, benar saja. Membuka pembicaraan dengannya memang malah membuatku makin emosi’ desahnya menyesal sambil meletakkan gawainya di sofa. Menjauh dan tak berkomunikasi lagi selama ini ternyata masih menyisakan celah hatinya kembali terluka.
Sesaat Bella melirik ke pintu kamar Talitha yang tidak tertutup rapat. Terlihat putri semata wayangnya itu sedang mengerjakan tugas sekolah dengan headset di telinganya. Bella menghela napas lega. Setidaknya gerutuannya barusan tak terdengar.
Bella kembali menatap gawainya yang masih menyala. Kesal hatinya melengkapi rasa lelah tubuhnya malam itu. Tak habis pikirnya, bagaimana bisa seorang yang pernah mengisi hidupnya itu justru menjadi bongkahan pengganggu hidupnya kini. Perpisahan yang terjadi tak juga membuatnya berubah lebih baik.
Lalu matanya jatuh pada matras yoganya yang tergulung di pojok lemari. Ia bangkit dari duduknya, mengambil dan menggelar matras yoganya di depan sofa.
Duduk bersila dan memejamkan matanya. Ia mencoba menenangkan diri dengan mengatur napasnya.
Di dalam hati, ia berdoa dan mencoba bermeditasi sejenak untuk menenangkan hatinya.
‘Ya Tuhan. Aku bersyukur dan terima kasih dengan segala anugerah yang Kau berikan. Dengan sadar sepenuhnya, aku terima segala takdir dan segala ketetapanMu atas hidupku. Sudah kutetapkan bahwa tak ada lagi yang bisa mengganggu kedamaian hati dan hidupku. Aku berhak bahagia dan berhak memperjuangkannya. Tak kuizinkan seorang pun berperilaku buruk apalagi mencipta luka terhadapku dan anakku. Ya Tuhan, aku mohon perlindunganMu’
*****
Komentar
Posting Komentar