Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2022

Keresahan di Tengah Naskah

Setelah dua fiksi kubuat dari hari pertama hingga hari ke-12, hari ini adalah hari yang terasa sulit. Aku harus memulai sebuah fiksi baru. Fiksi ketiga ini pun sudah masuk dalam daftar bank ide sebenarnya. Namun, entah mengapa, aku sulit memulainya. Kalaupun sudah dimulai, aku menemukan kebingungan setelah dua paragraf. Bahkan belum lagi memulai ada dialog. Aku seperti berada di jalan buntu dan entah mau melangkah kemana lagi. Apakah harus locat pagar? Apakah harus lompati dinding? Ya Allah, aku merasa beda dengan dua fiksi sebelumnya yang lancar-lancar saja kutuliskan.  Sampai jam 20.00 wib, saat tulisan ini dibuat, aku belum menemukan sesuatu yang membuatku merasa  sulit untuk mulai menuliskannya. Sejujurnya, aku sudah merasa ketar-ketir dengan waktu yang tersisa. Hal itu karena menulis fiksi tak semudah menulis opini atau artikel seperti yang aku lakukan di dua jilid 30DWC yang lalu.  Hari ini pun aku menerima kabar bahwa tulisanku untuk antologi Hujan perlu dilakukan re

Ini Peta Hidupku (4)

“Terus bagaimana, dong?” tanya Lisna bingung.  “Lah, yang jalanin hidup siapa, kenapa orang lain yang repot?” Fitri menimpali begitu saja. “Coba pikir, Lis. Apakah kehidupan ini harus berjalan seperti peta hidupnya orang lain? Lahir, sekolah dari TK, SD, SMP, kuliah, menikah, kerja, punya anak, dan seterusnya. Terus kalau belum juga menikah, dijodohkan-jodohkan, seumpama kamu punya ayam betina, aku punya ayam jantan, terus kita sepakat jodohkan mereka supaya ada telurnya,” kata Fitri dengan kritisnya. “Apa enggak boleh seseorang punya peta hidupnya sendiri? Setelah kuliah mau kerja saja terus.” “Ih, sadis juga kamu! Nyama-nyamain orang sama ayam segala,” sahut Lisna sambil terkekeh. “Lah? Bukankah begitu fenomena di masyarakat yang ada? Mereka lupa kalau kita juga manusia yang punya unsur perasaan. Kita pun memerlukan rasa pas untuk bisa berhubungan dengan orang lain. Seperti kita berdua. Kita merasa pas dan cocok selama ini untuk menjadi teman, sahabat, dan tak ragu untuk

Ini Peta Hidupku (3)

Lisna manggut-manggut pertanda mulai mengerti arah pemikiran Fitri.  “Iya juga, ya. Sering kita mendengar penolakan pada perjodohan yang dilakukan orang tua pada anaknya. Alasan mereka, ya, karena yang menjalani hidup ‘kan mereka, bukan orang tua.” Lisna berkata seolah sedang merenung sendiri.  “Nah, dengan pemikiran yang sama, apakah yang namanya ta'aruf itu menjamin kita lebih bahagia? Lebih langgeng pernikahannya? Enggak juga, ‘kan? Mungkin ilmu agamanya bagus, tapi apakah karakter orangnya cocok dengan kita?”  “Hmm, Fit. Mikir kamu jauh amat, sih?” Keluh Lisna setelah mendengar banyak pertanyaan itu. Ia pun merebahkan dirinya di tempat tidur. “Ya, enggak begitu juga, Lis. Masalahnya yang sedang kita bicarakan itu kehidupan kita selanjutnya, lho," jelas Fitri. "Memangnya kamu mau kehidupanmu ditentukan oleh orang lain?” “Ya, enggak maulah," jawab Lisna cepat. “ By the way, kamu tanya dan punya pemikiran kayak gini, memangnya, awalnya kenapa, sih?” Li

Ini Peta Hidupku (2)

Seminggu berlalu, Fitri masih sibuk dengan tugas kuliah di kamarnya. Di tengah pikirannya yang sedang fokus mengerjakan tugas, tiba-tiba gawainya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Lisna.  Fitri pun beranjak dari tempat duduknya. Ia membuka pintu agar sahabatnya bisa segera masuk. “Assalmualaikum.” Lisna mengucap salam dan tersenyum ketika pintu dibuka.  “Waalaikum salam,” jawab Fitri. “langsung ke kamarku saja, Lis." ujar Fitri kemudian. Mereka pun beranjak masuk ke kamar Fitri. “Kamu dari mana, Lis? Kok tahu-tahu sudah di depan rumahku?” Fitri langsung saja menyampaikan keheranannya. “Dari masjid. Terus kepikiran kamu, deh,” kata Lisna sambil melirik-lirik genit. “Hmm, bisa saja kamu.” “Fit, kok kamu kemarin gak datang ke pengajian?” tanya Lisna sambil duduk di pinggiran tempat tidur. “Males, aku! Pengajiannya sudah terasa aneh," ujar Fitri. “Aneh apanya?” tanya Lisna penasaran. “Kamu ingat, enggak, seminggu lalu, aku bertanya soal memilih pasangan hidup,

Ini Peta Hidupku (1)

Setelah salat ashar, Fitri bersiap untuk menghadiri pengajian putri di rumah Kak Rosma. Perjalanan menuju rumah Kak Rosma tidak terlalu jauh. Cukup 15 menit dengan berjalan kaki saja, Fitri sudah sampai di depan rumah Kak Rosma.  Kak Rosma sudah menanti di teras samping bersama Lisna dan Dewi sahabatnya. Seminggu sekali mereka berkumpul untuk melakukan kajian ayat-ayat suci AlQuran. Setelah memaparkan materi kajian, kak Rosma akan menyediakan waktu untuk saling tanya jawab. Seperti pada hari itu, Fitri pun menyampaikan pertanyaan. “Kak Rosma, bagaimanakah menurut pandangan Islam dalam memilih pasangan hidup?” tanya Fitri membuka sesi pertanyaan di pengajian itu. “Hmm…Fitri sudah siap menikah, ya?” Kak Rosma menanggapi pertanyaan Fitri dengan senyum, tetapi pandangan matanya menunjukkan keseriusan. “Kalau memang Fitri sudah siap, nanti bisa saya ta’arufkan lewat foto saja, Fit. Nanti jika ada yan berminat serius juga, yang bersangkutan akan menyerahkan fotonya juga sehingga

Jalan-jalan Pagi di Embung Tambakboyo

Pandemi Covid-19 telah membuat kita semua terkurung di dalam rumah selama 2 tahun lamanya. Selama itu pula, kegiatan kita sehari-hari dilakukan secara daring di rumah. Segala kegiatan dilakukan dengan duduk dan menunduk. Hanya pikiran kita saja yang berselancar di dunia maya dan berkomunikasi dengan siapa saja melalui gawai. Aktivitas fisik pun menjadi jarang dilakukan. Banyak orang mengakui bahwa selama pandemi berlangsung, berat badan pun meningkat.  Saya pun merasakan hal yang sama. Ada peningkatan berat badan dan aktivitas fisik pun berkurang. Terlebih lagi kegiatan menulis menjadi banyak bersama beberapa komunitas menulis. Ada tantangan menulis dan kelas-kelas belajar menulis yang menuntut saya untuk membuat tulisan di setiap harinya. Belum lagi saya harus membuat design ilustrasi dari tulisan saya tersebut. Segala kegiatan itu perlu konsentrasi yang cukup lama dan itu berarti menuntut saya untuk duduk dalam waktu yang lama. Bisa dibayangkan, betapa tubuh saya menjadi kurang berge

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (Tamat)

Ah, benar saja. Ini sebuah surat untuknya dari Taufik. “ Assalamualaikum. Apa kabar, Nadira? Suasana masjid berbeda sekali tanpa kamu. Kami semua merindukan keceriaanmu, dan adik-adik TPA kehilangan kakak yang pandai bercerita. Namun, ketiadaanmu membuatku sadar bahwa aku memerlukan kamu bukan hanya untuk membantuku mengelola TPA di masjid. Aku tahu air mata yang mengiringi zikirmu setelah tarawih tempo hari. Mata sembabmu telah bercerita tentang kepedihan dan kesulitan hidup yang mungkin tengah kau hadapi. Asal kau tahu, betapa aku ingin meringankan bebanmu, apapun itu. Tapi, siapalah aku?  Aku berada jauh di luar jangkauan kata mahram, meski hatiku berkata seperti bab 10 novel ini. I Love You Because of Allah. Jika kau berkenan, izinkan aku untuk memikul tanggung jawab atas dirimu agar tak perlu lagi ada air mata di hidupmu. Izinkan aku untuk menjadi imam salatmu di setiap harinya. …” Surat itu masih panjang. Akan tetapi, sampai di situ, inti isi surat itu sudah bisa di

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (6)

Seusai salat Ashar di masjid, Taufik teringat dengan buku novel yang ia janjikan pada Manda. Ia segera bergegas pulang untuk menyiapkan buku yang dimaksud.  Di depan rak bukunya, pandangan matanya justru terhenti pada sebuah novel kondang yang sudah selesai dibacanya. Syahadat Cinta . Buku karya Taufiqurrahmann al-Aziz itu bagus sekali. Tapi novel itu terlalu tebal untuk Manda. Ia pun memilihkan novel lain yang lebih tipis.  Sesaat, mata Taufik pun kembali memandangi novel Syahadat Cinta itu. Teringat salah satu bab dari novel itu. I Love you Because of Allah . Ya, hal itu yang ingin sekali ia sampaikan pada Nadira. “Kok 2 novel, Kak?” tanya Manda. “cukup satu saja, Kak. Aku pilih yang tipis saja," kata Manda. “Iya. Novel Syahadat Cinta ini, sampaikan ke kak Nadira, ya." Taufik memohon agar amanahnya disampaikan. “Tapi kak Nadira ‘kan gak perlu novel, Kak?” tanya Manda bingung. Taufik tersenyum melihat kebingungannya. “Iya. Sampaikan saja, novel ini dari Kak T

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (5)

Suara adzan subuh telah berkumandang. Taufik mempersiapkan diri untuk pergi ke masjid. Sementara ibu masih belum selesai mencuci piring di dapur.  “Bu, Taufik pamit ke masjid, ya. Assalamu’alaikum”. “Ya. Wa’alaikum salaam," jawab ibu sambil terus menyelesaikan pekerjaannya. “Fik! Bareng, Fik!” ujar ayah. “Buru-buru amat, sih. Tunggu ayah, dong!” Taufik tersenyum sambil membenahi letak pecinya.  “Berangkat dulu, bu. Assalamu’alaikum," pamit ayah pada ibu. “Wa’alaikum salam," jawab ibu sambil tersenyum.  Suara adzan masih berkumandang selama mereka berjalan menuju masjid. Di ujung jalan, Taufik melihat Manda melintas di jalan menuju masjid. Tak terlihat Nadira yang berjalan di dekat Manda. ‘Semoga dia sehat-sehat saja’, bisik hati Taufik. Seusai ceramah subuh, jemaah pulang ke rumah masing-masing. Taufik masih tinggal di masjid untuk membantu Ustadz Hasan membersihkan masjid.  Seseorang tengah berdiri di depan lemari perpustakaan masjid, dan sosok itu s

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (4)

Malam semakin larut. Muraja’ah pun sudah selesai dilakukan. Taufik merebahkan tubuhnya di pembaringan. Ia pejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang terjadi selama seharian itu.  Berbagai bayangan kejadian berlalu di benaknya dan ia pun mengucap hamdalah atas berjalannya serangkaian peristiwa bermakna di hari itu. Hingga ingatannya tiba pada kejadian sebelum dan sesudah tarawih malam itu.  ‘Nadira’, bisiknya dalam hati. Ia pun membuka matanya dan terduduk. ‘ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?’. Kemudian ia teringat pada saran Ustadz Hasan.  Hembusan nafas yang dalam pun terdengar. Saran itu bukan main-main, pikirnya. Ya, Ustadz Hasan bukan sekedar bercanda dan menggodanya. Akan tetapi, itu adalah saran yang harus dipikirkan matang-matang.  Melamar Nadira dan berkejaran dengan waktu agar tak ada pihak lain yang mendahului. Masya Allah , benarkah harus seperti itu? Dirinya kini sudah bekerja meski masih tinggal bersama orang tua. Usianya pun sudah cukup untuk melanjutkan

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (3)

Mata sembab itu tak benar-benar berhasil ia tutupi. Taufik dan Manda pun bisa melihat adanya bekas air mata di wajah Nadira. Namun mereka mengerti dan tidak berminat juga untuk bertanya.  Manda pun beranjak berdiri dan mengiringi Nadira untuk pulang.  “Pulang duluan ya, Kak," pamit Manda pada Taufik. “Oh, iya. Saya antar, ya?” tanya Taufik berbasa-basi. “Enggak usah, Kak. Terima kasih," jawab Nadira cepat. Taufik memandangi dua gadis kakak beradik itu memakai sandalnya. Dalam hatinya, ia merindukan gadis pujaan hatinya itu bisa ceria lagi seperti dulu. Kematian kedua orang tuanya telah merenggut keceriaannya yang manis. Ia tahu, Nadira mendadak harus menjadi pelindung adiknya dan harus bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya. Tanggung jawab itu belum siap untuk ditanggungnya sendirian.  “Assalamu’alaikum," ucap Nadira dan Manda bersamaan  memberi salam. “Wa’alaikum salaam. Kalau perlu bantuan, jangan sungkan bilang, ya. InsyaAllah , kakak bantu," ujar Tau

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (2)

Malam itu, salat tarawih diimami oleh seorang yang tak dikenal suaranya. Suara itu terdengar seperti seorang yang masih muda dan hafiz AlQuran. Makmum yang berada di saf muslimah tidak bisa melihat sosoknya karena tertutup layar hijab yang membentang cukup tinggi. Suara merdu sang Imam sungguh menyihir seluruh makmum. Keindahan alunan nada suaranya membuat betah untuk berlama-lama di dalam salat tarawih itu, meski ayat yang dibacakan cukup panjang.  Tanpa disadari, Nadira meneteskan air mata. Hati Nadira yang tersentuh itu seiring dengan ingatannya pada ayah dan ibunya yang telah meninggal sepulang dari ibadah haji dua tahun lalu. Dua tahun sudah, ia dan adiknya, Manda, telah menjadi yatim piatu. Kesedihan hatinya tiba-tiba saja merebak dan mengikis kekhusyukan salatnya. Tetesan air matanya menjadi tangisan tak bersuara di tengah salat tarawih itu.  Seiring dengan ayat AlQuran yang dibacakan oleh Imam salat, Nadira menghanyutkan diri dalam doa dan mengadukan penat hatinya k

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (1)

Setelah berbuka puasa, Nadira bersiap untuk tarawih di masjid dalam kompleks perumahannya bersama adiknya, Manda.  “Jangan lupa kunci pintunya," kata Nadira mengingatkan Manda. Manda segera mengunci pintu rumah dan menyusul Nadira yang sudah berjalan duluan. Mereka berdua berjalan beriringan menuju masjid. Di pertigaan jalan dekat masjid, Taufik berjalan dengan sarung dan pecinya. Ia melihat kakak beradik itu melintas di depannya.  Nadira yang berjalan sambil menunduk tak tahu keberadaan Taufik yang kemudian berjalan di belakangnya.  Manda yang mengetahui keberadaan Taufik hanya tersenyum dan mengangguk kecil, lalu melirik ke arah kakaknya.  Taufik meletakkan telunjuknya di depan mulutnya seolah memberi kode pada Manda agar tidak perlu memberi tahu kepada Nadira. Mereka pun terus berjalan menuju masjid. Anak-anak TK dan setingkat SD banyak berlari-larian di halaman masjid seusai buka puasa bersama tadi.  “Kak Taufik … kak Taufik," teriak anak-anak itu demi

Kenangan Perjalanan Bersama Komunitas dan Mengantar Anak

Hello Februari. Bulan yang pendek dan kebetulan pula kesempatan menulis untuk MGN pun menjadi lebih singkat. Semua komunikasi ada pada WhatsApp, sementara grup Mamah Gajah Ngeblog sudah pindah ke Telegram. Aku jadi terlambat mengetahui perkembangan yang terjadi di grup MGN. Tapi tak mengapa. Aku akan tetap ikut menulis. Kali ini, Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog mengeluarkan tema tentang pengalaman melakukan perjalanan yang berkesan.  Wah, ini membuatku harus mengingat perjalanan yang pernah kulakukan selama ini. Sebagai orang rumahan, aku sangat jarang melakukan perjalanan keluar kota kalau tidak ada kepentingan penting. Sejak kecil hingga berkeluarga, aku tidak pernah melakukan perjalanan panjang dengan tujuan piknik, sehingga aku tak punya catatan perjalanan khusus.  Manager Conference Tupperware Aku bergabung menjadi member Tupperware di anggap 17 Agustus 2002. Sejak itu, aku mempunyai aktivitas tambahan selain sebagai ibu rumah tangga. Tidak disangka