Lisna manggut-manggut pertanda mulai mengerti arah pemikiran Fitri.
“Iya juga, ya. Sering kita mendengar penolakan pada perjodohan yang dilakukan orang tua pada anaknya. Alasan mereka, ya, karena yang menjalani hidup ‘kan mereka, bukan orang tua.” Lisna berkata seolah sedang merenung sendiri.
“Nah, dengan pemikiran yang sama, apakah yang namanya ta'aruf itu menjamin kita lebih bahagia? Lebih langgeng pernikahannya? Enggak juga, ‘kan? Mungkin ilmu agamanya bagus, tapi apakah karakter orangnya cocok dengan kita?”
“Hmm, Fit. Mikir kamu jauh amat, sih?” Keluh Lisna setelah mendengar banyak pertanyaan itu. Ia pun merebahkan dirinya di tempat tidur.
“Ya, enggak begitu juga, Lis. Masalahnya yang sedang kita bicarakan itu kehidupan kita selanjutnya, lho," jelas Fitri. "Memangnya kamu mau kehidupanmu ditentukan oleh orang lain?”
“Ya, enggak maulah," jawab Lisna cepat. “By the way, kamu tanya dan punya pemikiran kayak gini, memangnya, awalnya kenapa, sih?” Lisna mulai bertanya menyelidik. Ada tatapan curiga di matanya.
“Awalnya, aku dengar ibu-ibu di sini. Setiap pagi, mereka ‘kan sukanya ngumpul sambil menunggu tukang sayur lewat. Pada ngerumpi, tuh. Suaranya kedengaran sampai sini. Ada yang tanya-tanya, kok Mbak yang tinggal di sebelah rumahku ini, sudah berumur tapi belum nikah juga," jelas Fitri pada Lisna.
“Ih, rese amat, sih! Mau tahu hidup orang saja," komentar Lisna dengan nada jengkel.
“Ya, begitulah hidup bertetangga. Kepedulian yang terlalu peduli, jadinya julid dan rese seperti itu. Mau gak mau, aku kepikiran diriku sendiri, dong. Nanti, selesai kuliah, dan ternyata sampai lama belum nikah juga. Nah, kita berpotensi jadi omongan juga, dong," keluh Fitri sampai mulutnya manyun. Lisna pun mengerutkan keningnya. Ia pun jadi berpikir kemungkinan itu bisa terjadi padanya.
#30dwc
#30dwcjilid35
#day11
Komentar
Posting Komentar