Langsung ke konten utama

Surat yang Terselip di Sebuah Novel (4)

Malam semakin larut. Muraja’ah pun sudah selesai dilakukan. Taufik merebahkan tubuhnya di pembaringan. Ia pejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang terjadi selama seharian itu. 

Berbagai bayangan kejadian berlalu di benaknya dan ia pun mengucap hamdalah atas berjalannya serangkaian peristiwa bermakna di hari itu. Hingga ingatannya tiba pada kejadian sebelum dan sesudah tarawih malam itu. 

‘Nadira’, bisiknya dalam hati. Ia pun membuka matanya dan terduduk. ‘ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?’. Kemudian ia teringat pada saran Ustadz Hasan. 
Hembusan nafas yang dalam pun terdengar. Saran itu bukan main-main, pikirnya. Ya, Ustadz Hasan bukan sekedar bercanda dan menggodanya. Akan tetapi, itu adalah saran yang harus dipikirkan matang-matang. 

Melamar Nadira dan berkejaran dengan waktu agar tak ada pihak lain yang mendahului. Masya Allah, benarkah harus seperti itu? Dirinya kini sudah bekerja meski masih tinggal bersama orang tua. Usianya pun sudah cukup untuk melanjutkan hidup berkeluarga. Tapi apakah Nadira sudah siap seperti dirinya? Selain itu, apakah Nadira akan menerima dirinya? 

Selama 2 tahun ini, Nadira telah menutup diri. Nadira sudah sangat jarang datang ke masjid. Ia tahu dari teman-teman di masjid bahwa kini Nadira sibuk menyelesaikan kuliah dan kerja paruh waktu. Itu menyebabkan ia sulit bertemu secara langsung seperti dulu. Sekali waktu, ia pernah melihat Nadira baru pulang selepas waktu magrib.

Teringat mata sembab Nadira, hati Taufik terasa perih. Betapa ia ingin membuat gadis itu tersenyum kembali. Kesedihan itu sangat menggambarkan kesulitan atas beban hidup yang harus ditanggungnya. Mungkin Ustadz Hasan benar. Melamar Nadira adalah jawabannya agar ia pun bisa melindungi dan membantunya pulih dari kesedihan. 

‘Kuharap belum ada orang lain di hatinya’, bisik hati Taufik sambil meraih gawainya. Ia pun membuka aplikasi chat dengan nama Nadira. Namun jarinya terhenti dan hanya memandangi halaman chat yang kosong. Ia ragu untuk menghubungi Nadira. 
Ah, ini sudah malam. Rasanya ingin segera memastikan keadaan. Hatinya resah dan bingung.
‘Ya, Allah. Aku mohon bimbinganMu’, doanya dalam hati. Sejenak ia terdiam. Ia kumpulkan kekuatan dan berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan.
Taufik pun meletakkan gawainya dan meraih sajadahnya. Ia berniat untuk salat istikharah. Doa yang panjang ia panjatkan di dalam salat. Ia benar-benar memohon petunjuk dan kekuatan hati untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan orang yang ia kasihi. Permohonan pun ia ucapkan lebih panjang di dalam sujudnya. Seperti yang diajarkan Ustadz Hasan bahwa doa di dalam sujud adalah doa yang dibisikkan ke dalam bumi namun gemanya tembus ke langit. Sebagai hamba Allah, ia pasrahkan atas ketetapan yang harus terjadi atas dirinya. Setelah salam, doa pun dilanjutkan dengan berzikir.

Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu kamarnya membuyarkan kekhusyukannya. 
“Fik? Belum tidur?” suara ibu memaksanya untuk bangkit dan membukakan pintu. 
“Belum, bu," jawabnya sambil melipat sajadahnya dan kemudian membuka pintu kamarnya.
“Kamu habis salat? Salat apa?” tanya ibu.
“Istikharah, bu.”
“Memangnya kamu kenapa?” tanya ibu penuh perhatian. “Cerita sama ibu, dong. Mungkin ibu bisa bantu," ujar ibu melembutkan dan menenangkan hati Taufik.
“Bu. Ibu tahu Nadira, ‘kan? Yang tinggal di RT sebelah.” Taufik mencoba menjelaskan masalahnya. Ibu nampak mengingat-ingat seseorang yang dimaksud anaknya itu. 
“Nadira yang kedua orang tuanya sudah meninggal itu?” tanya ibu memastikan.
“Iya, bu”.
“Memangnya kenapa dengan Nadira?” tanya ibu sambil tersenyum. Ibu seolah bisa menebak pikiran anaknya yang sudah menjadi pemuda gagah itu.
Taufik pun menyampaikan perasaannya dan hasil pembicaraannya dengan Ustadz Hasan setelah tarawih tadi. Salat istikharahnya adalah untuk menguatkan hatinya pada pilihan waktu untuk melamar Nadira. Apakah sudah saatnya? Selain itu, apakah ibu mengijinkannya untuk melamar Nadira?

Ibu tersenyum maklum dan merasa bangga pada pemuda di depannya itu. ‘Anakku sudah dewasa. Ia sudah siap memikul tanggung jawab atas seorang gadis tetangganya itu, Nadira.'
“Hmmm …. Ibu mengerti. Ya, tidak apa-apa. Kalau memang kamu sudah siap. Ayah dan ibu siap mendukungmu," kata ibu kemudian.
"Terima kasih, bu," kata Taufik sambil meraih tangan ibu dan menciumnya. 
"Ya, sudah. Sekarang istirahat dulu. Tidur. Jangan sampai kesiangan untuk sahur!” perintah ibu kemudian. 
“Baik, bu.” Jawab Taufik dengan senyum bahagia dan hati yang sudah lebih tenang. 

#30Dwc
#30dwcjilid35
#day4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi

Jelajah Dunia Kopi

Oktober datang, musim pun berganti menjelang. Angin berbisik lebih dingin, Menarik awan menggumpal tebal, Sebentar saja hujan pun tumpah, Gerimis hingga menderas, Nyamannya meringkuk dengan secangkir kopi panas. Awal bulan Oktober, grup MGN bukan hanya mengumumkan hasil tantangan bulan September, tetapi juga menyampaikan kabar tantangan bulan Oktober. Wah, kok tepat dengan suasana hujan dan ngopi sore ini. MGN menetapkan Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober dengan tema Mamah dan Kopi. Hmm… mataku langsung melirik pada cangkir kopi di meja. Pikiran pun mengembara ke berbagai pengalaman tentang kopi yang pernah kucicipi.  Masa SMA adalah awal aku mencicipi kopi dan menjadi teman mengerjakan tugas sampai tengah malam. Namun suatu hari, ibuku melihatku minum kopi dan berkomentar bahwa lebih baik minum coklat panas daripada kopi. Hal itu karena coklat bisa menguatkan jantung, sedangkan kopi membuat jantung tidak sehat. Saat itu belum ada Google untuk mencari tah

Kreatif dengan Memanfaatkan Apa yang Ada di Sekitar

Hidup ini memang harus kita jalani apapun yang terjadi. Tidak mungkin kan, hidup harus di hentikan sesaat hanya karena apa yang harus kita jalani menemui kebuntuan. Selagi hidup masih berlangsung, kita masih perlu makan, minum, mandi, dan lain-lain. Setidaknya, kita masih perlu akan kebutuhan dasar. Oleh karena itulah, kita harus kreatif untuk mencari jawaban atas kebuntuan yang bisa jadi kita temui dalam hidup.  Kalau kita mengikuti kegiatan pramuka, tentu kita diajarkan tentang bertahan hidup dengan peralatan yang minim. Belajar hidup sederhana dan bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Dari situ, seorang pramuka akan siap menghadapi kondisi hidup sulit sekalipun.  Namun ternyata, kondisi tersebut pun dialami oleh anak-anak yang tinggal di pondok pesantren. Anak saya yang kedua telah memilih untuk melanjutkan sekolah tahap SMP nya di Pondok Pesantren Assalam Solo. Betapa suatu pilihan yang sulit bagi saya waktu itu, karena, dengan begitu, saya tidak lagi melihatnya bangun pagi da