Malam semakin larut. Muraja’ah pun sudah selesai dilakukan. Taufik merebahkan tubuhnya di pembaringan. Ia pejamkan mata dan mencoba mengingat apa yang terjadi selama seharian itu.
Berbagai bayangan kejadian berlalu di benaknya dan ia pun mengucap hamdalah atas berjalannya serangkaian peristiwa bermakna di hari itu. Hingga ingatannya tiba pada kejadian sebelum dan sesudah tarawih malam itu.
‘Nadira’, bisiknya dalam hati. Ia pun membuka matanya dan terduduk. ‘ya Allah. Apa yang harus aku lakukan?’. Kemudian ia teringat pada saran Ustadz Hasan.
Hembusan nafas yang dalam pun terdengar. Saran itu bukan main-main, pikirnya. Ya, Ustadz Hasan bukan sekedar bercanda dan menggodanya. Akan tetapi, itu adalah saran yang harus dipikirkan matang-matang.
Melamar Nadira dan berkejaran dengan waktu agar tak ada pihak lain yang mendahului. Masya Allah, benarkah harus seperti itu? Dirinya kini sudah bekerja meski masih tinggal bersama orang tua. Usianya pun sudah cukup untuk melanjutkan hidup berkeluarga. Tapi apakah Nadira sudah siap seperti dirinya? Selain itu, apakah Nadira akan menerima dirinya?
Selama 2 tahun ini, Nadira telah menutup diri. Nadira sudah sangat jarang datang ke masjid. Ia tahu dari teman-teman di masjid bahwa kini Nadira sibuk menyelesaikan kuliah dan kerja paruh waktu. Itu menyebabkan ia sulit bertemu secara langsung seperti dulu. Sekali waktu, ia pernah melihat Nadira baru pulang selepas waktu magrib.
Teringat mata sembab Nadira, hati Taufik terasa perih. Betapa ia ingin membuat gadis itu tersenyum kembali. Kesedihan itu sangat menggambarkan kesulitan atas beban hidup yang harus ditanggungnya. Mungkin Ustadz Hasan benar. Melamar Nadira adalah jawabannya agar ia pun bisa melindungi dan membantunya pulih dari kesedihan.
‘Kuharap belum ada orang lain di hatinya’, bisik hati Taufik sambil meraih gawainya. Ia pun membuka aplikasi chat dengan nama Nadira. Namun jarinya terhenti dan hanya memandangi halaman chat yang kosong. Ia ragu untuk menghubungi Nadira.
Ah, ini sudah malam. Rasanya ingin segera memastikan keadaan. Hatinya resah dan bingung.
‘Ya, Allah. Aku mohon bimbinganMu’, doanya dalam hati. Sejenak ia terdiam. Ia kumpulkan kekuatan dan berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan.
Taufik pun meletakkan gawainya dan meraih sajadahnya. Ia berniat untuk salat istikharah. Doa yang panjang ia panjatkan di dalam salat. Ia benar-benar memohon petunjuk dan kekuatan hati untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan orang yang ia kasihi. Permohonan pun ia ucapkan lebih panjang di dalam sujudnya. Seperti yang diajarkan Ustadz Hasan bahwa doa di dalam sujud adalah doa yang dibisikkan ke dalam bumi namun gemanya tembus ke langit. Sebagai hamba Allah, ia pasrahkan atas ketetapan yang harus terjadi atas dirinya. Setelah salam, doa pun dilanjutkan dengan berzikir.
Tiba-tiba, sebuah ketukan di pintu kamarnya membuyarkan kekhusyukannya.
“Fik? Belum tidur?” suara ibu memaksanya untuk bangkit dan membukakan pintu.
“Belum, bu," jawabnya sambil melipat sajadahnya dan kemudian membuka pintu kamarnya.
“Kamu habis salat? Salat apa?” tanya ibu.
“Istikharah, bu.”
“Memangnya kamu kenapa?” tanya ibu penuh perhatian. “Cerita sama ibu, dong. Mungkin ibu bisa bantu," ujar ibu melembutkan dan menenangkan hati Taufik.
“Bu. Ibu tahu Nadira, ‘kan? Yang tinggal di RT sebelah.” Taufik mencoba menjelaskan masalahnya. Ibu nampak mengingat-ingat seseorang yang dimaksud anaknya itu.
“Nadira yang kedua orang tuanya sudah meninggal itu?” tanya ibu memastikan.
“Iya, bu”.
“Memangnya kenapa dengan Nadira?” tanya ibu sambil tersenyum. Ibu seolah bisa menebak pikiran anaknya yang sudah menjadi pemuda gagah itu.
Taufik pun menyampaikan perasaannya dan hasil pembicaraannya dengan Ustadz Hasan setelah tarawih tadi. Salat istikharahnya adalah untuk menguatkan hatinya pada pilihan waktu untuk melamar Nadira. Apakah sudah saatnya? Selain itu, apakah ibu mengijinkannya untuk melamar Nadira?
Ibu tersenyum maklum dan merasa bangga pada pemuda di depannya itu. ‘Anakku sudah dewasa. Ia sudah siap memikul tanggung jawab atas seorang gadis tetangganya itu, Nadira.'
“Hmmm …. Ibu mengerti. Ya, tidak apa-apa. Kalau memang kamu sudah siap. Ayah dan ibu siap mendukungmu," kata ibu kemudian.
"Terima kasih, bu," kata Taufik sambil meraih tangan ibu dan menciumnya.
"Ya, sudah. Sekarang istirahat dulu. Tidur. Jangan sampai kesiangan untuk sahur!” perintah ibu kemudian.
“Baik, bu.” Jawab Taufik dengan senyum bahagia dan hati yang sudah lebih tenang.
#30Dwc
#30dwcjilid35
#day4
Komentar
Posting Komentar