Ah, benar saja. Ini sebuah surat untuknya dari Taufik.
“Assalamualaikum. Apa kabar, Nadira? Suasana masjid berbeda sekali tanpa kamu. Kami semua merindukan keceriaanmu, dan adik-adik TPA kehilangan kakak yang pandai bercerita. Namun, ketiadaanmu membuatku sadar bahwa aku memerlukan kamu bukan hanya untuk membantuku mengelola TPA di masjid. Aku tahu air mata yang mengiringi zikirmu setelah tarawih tempo hari. Mata sembabmu telah bercerita tentang kepedihan dan kesulitan hidup yang mungkin tengah kau hadapi.
Asal kau tahu, betapa aku ingin meringankan bebanmu, apapun itu. Tapi, siapalah aku? Aku berada jauh di luar jangkauan kata mahram, meski hatiku berkata seperti bab 10 novel ini. I Love You Because of Allah. Jika kau berkenan, izinkan aku untuk memikul tanggung jawab atas dirimu agar tak perlu lagi ada air mata di hidupmu. Izinkan aku untuk menjadi imam salatmu di setiap harinya. …”
Surat itu masih panjang. Akan tetapi, sampai di situ, inti isi surat itu sudah bisa dipahami.
‘Ya Allah. Dia melamarku.’ Nadira terduduk di pinggiran tempat tidur. Surat itu masih dipandanginya seolah tak percaya. Pemuda saleh itu sempat menarik perhatiannya, namun kedukaan yang menimpa keluarganya telah mengubur semua bayangan indah dan tak sempat menguasai hatinya lebih jauh. Kehidupan nyata membuatnya harus menghadapi hidup secara realistis. Ia tak lagi berani berharap banyak dengan lamunan yang belum tentu bisa dibawa ke dalam kehidupan nyata. Tanpa sadar, air matanya menetes.
“Kakak kenapa? Kok nangis?" tanya Manda yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya. “surat apa itu, Kak? Dari Kak Taufik?” tanya Manda bertubi-tubi.
“Dek, Kak Taufik melamar Kakak ...," kata Nadira mengambang.
“Alhamdulillah. Eh, kakak sendiri bagaimana?”, tanya Manda sangat ingin tahu. Ia pandangi wajah Nadira yang sudah berlinang air mata itu. “kakak mau terima, kan?”. Nadira tampak bingung dan belum bisa memutuskan. Manda pun memeluk kakak semata wayangnya itu. "Kakak ..."
“Dek. Kamu keluarga kakak satu-satunya sekarang. Kalau kakak menikah, nanti kamu bagaimana?” tanya Nadira sambil memeluk adiknya itu semakin erat.
“InsyaAllah enggak kenapa-kenapa, Kak. Setidaknya, Kakak tidak lagi harus menanggung kesulitan hidup sendirian," ujar Manda sambil melepaskan pelukan. Ia meyakinkan kakaknya agar bisa menerima lamaran itu. “Kak Taufik itu orangnya baik, soleh, dan dia dari keluarga baik-baik. Aku setuju, kak," kata Manda meyakinkan.
Mereka berdua tersenyum dan berpelukan dalam tangis bahagia. Semoga Allah merestui lamaran di bulan Ramadhan itu.
Tamat
#30dwc
#30dwcjilid35
#day7
Komentar
Posting Komentar