Langsung ke konten utama

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar.


Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi garis merah. 

Masalah yang datang atau bermuara dari diri sendiri, insyaAllah bisa kuatasi dengan introspeksi diri dan kesadaran untuk melangkah ke arah lebih baik. Akan tetapi, jika masalah itu berasal dari luar, dalam hal ini karena orang lain, hal itu sungguh sulit kuatasi. Hal itu karena seolah orang lain yang menentukan arah hidup kita, suka maupun tidak, benar ataupun salah. Kalau orang lain tersebut menentukan arah hidup kita ke arah yang lebih baik, tentu itu bukan masalah besar. Yang menjadi masalah adalah ketika orang lain tersebut memaksakan kehendaknya bahkan dengan ancaman. Repotnya, jika diri kita tidak begitu saja mudah melepaskan relasi diri dengan orang tersebut. Situasi yang toksik (menurut istilah sekarang) seperti itu sudah layaknya dihindari dan dijauhi.

Fitnah dan Pembuktian Diri

Aku suka menari dan segala seni peran. Hal ini pernah kutuliskan dalam tantangan MGN. Namun, aku menemukan suatu peristiwa yang tidak etis di belakang panggung. Ada seorang penari yang 'akrab' dengan penabuh gamelan. Sementara sang penabuh gamelan adalah seorang pria yang sudah berkeluarga. Kondisi affair seperti itu kusaksikan jamak. Aku merasa gak sanggup hidup di lingkungan seperti itu. Selain itu, berbagai fitnah kuterima seolah aku sama seperti mereka. Akhirnya kuputuskan untuk berhenti menari dan kebetulan saat itu aku dekat dengan seorang teman yang kesehariannya telah memakai jilbab. Dari temanku inilah, akhirnya aku putuskan untuk memakai jilbab. 

Sampai disini, keputusan itu kelihatannya baik-baik saja. Tapi ternyata perjalanannya tidak mulus juga. Waktu itu tahun 1988, bapakku tidak setuju dengan keputusanku. Aku disidang di tengah keluarga dan diminta untuk membuka jilbab ku. Alasan utama adalah, karena waktu itu sangat sensitif sekali. Aku dikhawatirkan terlibat dalam pengajian yang ekstrim dan ditengarai akan merusak persatuan bangsa. 

Ya Allah. Aku tidak berpikir sampai sejauh itu. Aku hanya mau berjilbab karena untuk melindungi diri. Tidak terpikir sedikitpun sampai dikaitkan dengan urusan negara. Tetapi, karena bapakku seorang tentara dan mengetahui bagaimana kerja para intelijen negara, bapak sangat khawatir denganku. Lebih jauh dari itu, kalau aku sampai terdata dalam sebuah kumpulan ekstrim tersebut, lalu tertangkap dan diinterogasi, diketahui kemudian bahwa bapakku adalah seorang tentara, bapak bisa dipecat dari Kesatuan. Itu akan berefek pada pendapatan. 

"Kita mau makan apa? Siapa yang akan bayar biaya kuliah kalian?"tanya bapak dengan galaknya. 

Begitu kecemasan bapak yang membuatku terdiam lama. Sempat kubuka jilbabku, Tapi keyakinanku tak berubah. Aku terus menguatkan diri dan berdoa. Intinya, jika kita mendekat pada Tuhan, tentu akan ditolong dengan caraNya. Aku mencoba mandiri, mengajar les, dan mempunyai penghasilan sendiri. Lama kelamaan, bapak mulai luluh. Aku hanya tinggal membuktikan bahwa aku akan menjadi anak bapak yang baik.

Aku dan Hijab Pertamaku adalah buku antologi pertamaku. Aku menuliskan kisahku ketika menghadapi bapak. 

Perpisahan

Tentu aneh jika ada yang berniat menikah untuk kemudian akan bercerai. Aku bicara tentang pernikahan yang normal, ya. Tentunya semua orang yang menikah akan berharap untuk langgeng selamanya. Namun risiko hidup ternyata harus dipersiapkan. 

Ah maaf, bicara risiko ini bukan bicara soal asuransi. Tapi kenyataan hidup, pasangan kita bisa pergi karena dipanggil Tuhan atau memutuskan berpisah dengan alasan apapun. Kepergiannya dengan cara apapun akan memberi dampak yang sama-sama berat bagi kita sebagai istri. Apalagi jika sudah ada anak-anak yang perlu biaya besar untuk membesarkan dan mendidiknya. Dari sisi mental pun, pastinya sangat berat karena perpisahan tidaklah menjadi agenda dalam perjalanan berkeluarga. 
Untuk soal biaya, aku menyesal mengapa aku tidak kembali bekerja setelah melahirkan anak-anak. Yah, mestinya begitu. Di saat usia masih memungkinkan bersaing dengan para lulusan baru, tenaga pun masih kuat untuk bekerja apapun. 

Takdir berkata demikian. Aku menghadapi perpisahan itu. 
Meski bertahan serupa apa, ayahnya anak-anak memutuskan berpisah. 
Meski sesulit apapun hidup yang ia berikan, aku bertahan. 
Tapi tetap saja, maunya seperti itu. 
Kalau aku boleh jujur, andai aku tak berpikir nama baik dan keluarga besar, aku sendiri yang akan mengajukan cerai itu ketika belum ada anak-anak. Tapi aku bertahan. Entah karena bucin, entah karena memang aku sabar, aku tak tahu. Hingga anak ketiga lahir, sesungguhnya mentalku sudah bobrok. Hidupku hanya untuk menyenangkan orang lain. Jika salah, aku dicap sebagai istri yang berdosa pada suami. Benar-benar hubungan yang tidak sehat dan aku sulit melepaskan diri karena ada anak-anak dan dia berstatus sebagai suami, bukan orang lain yang tak terikat hubungan keluarga atau hukum. Andai hubungan toksik itu kualami dengan orang lain, aku pasti sudah menjauh sejauh-jauhnya. 

Bersama SMI, kisah ku tertulis dalam antologi Perjalanan Ibu Tunggal. Tentang buku ini sudah dituliskan di blog Tantangan MGN November 2021. 


Liburan lebaran selalu dilaksanakan di keluarganya. Tidak pernah berlebaran dengan keluargaku. Orang tuaku sakit, aku tak bisa menjenguk. Demi Allah, itu pedih sekali. 
Suatu hari ada kesempatan piknik keluarga yang diadakan kantor tempat ia bekerja. Dengan tiga anak yang masih kecil-kecil, ia tidak mau meringankan bebanku untuk membawa salah satu atau dua anak. Belum lagi aku juga yang harus membawa tas perbekalan anak-anak. Aku lelah sekali dan itu membuatku trauma dengan piknik. Aku jadi tidak suka piknik. Istirahatku cukup di rumah dengan tidur, atau baca buku novel saja. 

Kecemasanku pada efek perpisahan adalah anak-anak. Ketika itu, anak-anak menginjak usia SMP dan SMA. Masa-masa rentan menghadapi perubahan hormonal mereka, terlebih lagi mereka berada di keluarga yang tidak stabil. Kasihan mereka. Tapi aku tak berdaya. Aku hanya berusaha sebisa mungkin menguatkan mereka, meski tak dapat kujawab setiap pertanyaannya dengan mudah. Mereka pernah punya keputusan, kalau papa mama pisah, mereka akan ke Panti Asuhan saja. 
Ya ampun, betapa polosnya mereka. Dan mereka menilai bahwa kami sama-sama salah. 

Aku hanya bisa diam. Hingga mereka dewasa dan selalu chat untuk urusan biaya kuliah dan keperluan kost mereka, mereka baru bisa merasakan betapa menyebalkannya berkomunikasi dengan ayah mereka itu. Bahkan anakku yang sulung sempat beberapa kali blokir nomer wa-nya. 

Dalam antologi Untuk Ayah ini, aku menuliskan 5 puisi untuk ayah, peran ayah, dan siapa yang berperan sebagai ayah. 

Dejavu

Aku kembali beraktivitas bahkan lebih giat lagi. Namun, tak kukira sama sekali kalau aku akan menjumpai orang dengan karakter sama dengan mansu. Rasa tertekan itu pernah kutuliskan. Waktu itu, seluruh tubuhku rasanya tegang sekali. Ternyata, tak kusadari, tekanan darah naik hingga 140. Padahal biasanya selalu di bawah 120. Ada rasa dejavu dan traumatik.

Berbagai cara untuk rileks, konsumsi multivitamin dan bawang hitam, serta tidur yang cukup sudah kulakukan. Tetapi, obat yang manjur adalah menjauh dan gak kontak lagi dengan orang-orang toksik itu. 

Penutup

Kita berhak bahagia dan hidup di lingkungan yang baik. Untuk itu, kita berhak mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menjauh dari lingkungan yang tidak baik. Kita harus baik untuk mencipta lingkungan yang baik pula. 



Komentar

  1. Peluk duluuu 🤗
    Masya Allah itu anak2 soleh2 pisan 😍
    Bener mbak, kita berhak bahagia. Dengan jalan kita. Semoga selalu dalam lindungan ridho-Nya ya 🤗🥰

    BalasHapus
  2. Sebagai pengguna jilbab setelah SK Dirjen Pendidikan Dasar tahun 1991 keluar, rasanya kebayang beratnya tantangan keputusan menggunakan jilbab sebelum itu.

    Mana bisa ada hubungannya dengan pekerjaan ortu ya Mbak. Kalau aku yang dikhawatirkan soal dapat pekerjaan aja waktu itu.

    Angkat topi Mbak, buat perjalanan hidupnya.

    BalasHapus
  3. Iya Shanty. Belum lagi di kampus sempat keluar aturan foto KTM harus tampak telinga. Sempat mau gelar demo, tapi dicegah oleh Gamais.
    Soal kerja juga sama, makanya banyak teman2 yang jadi wiraswasta setelah lulus.

    BalasHapus
  4. 😟 ternyata sebegitu mencekamnya ya memakai jilbab kala itu. Ibu mertua termasuk yang berjuang untuk pakai jilbab dulu, tapi aku baru bisa membayangkan perjuangannya setelah baca posting ini. Peluk dari jauh teh Sari, semoga selalu dipermudah segalanya untuk teteh dan anak-anak

    BalasHapus
  5. Peluuuuk Teh Sari. Masya Allah, perjalanan hidupmu, Teh. Aku pun paling khawatir kalau kehilangan pasangan, dengan cara apa pun itu. Saluuut, semoga hidup Teteh selalu dimudahkan-Nya.

    BalasHapus
  6. Pengalaman Mbak Sari membuatku merasa mendidik anak laki-laki itu memang perlu extra ya. Bagaimana ia harus menjadi laki-laki yang bertanggung-jawab buat orang-orang di sekitarnya.

    BalasHapus
  7. Mba Sari, campur aduk saya membaca beratnya tantangan yang harus Mba lalui. Salut dengan keberanian dan keteguhan Mba Sari semasa remaja untuk stand up dengan pilihan berjilbabnya.

    Salut dengan kuatnya Mba Sari sebagai ibu tunggal buat ketiga putri cantik solehahnya.

    Salut dengan produktivitas Mba Sari dalam menumpahkan keresahan hati jiwa dan raga ke dalam buku-buku antologinya.

    Semoga putri-putri Mba Sari diberikan kesuksesan dan dilimpahkan kebahagiaan olehNya.

    BalasHapus
  8. MasyaAllah Teteh kuat banget… Many happy returns ya Teh insyaAllah. Perihal jilbab, aku pun Teh memutuskan jilbab pas SMA dan sempat dilarang ortu jaman itu disangka macem2. Hiks. Dulu mikirnya masa mau jadi baik pun dilarang sm keluarga terdekat. Kan kebaikannya bs buat mereka juga 😬

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cheese is The King, Chocolate is The Queen

Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog pada bulan Mei 2023 ini bertema tentang makanan favorit. Aku gak tahu harus mulai dari mana untuk berkisah tentang makanan favorit ku. Sejenak terbayang semua yang enak-enak yang pernah ku makan. Mulai dari jenis kue, biskuit, cake, roti, coklat, pasta, makanan dengan bahan baku daging sapi, daging ayam, ikan, dan makanan dengan bahan baku sayur-sayuran. Baiklah kita bahas satu per satu. 😊 Bakery dan Pastry Untuk jenis kue, ah kebetulan baru saja kita lebaran ya, kue kaasstengels menduduki urutan pertama. Sagu keju, nastar, dan kue kacang itu pun masuk dalam deretan favorit kue lebaran. Hmm, semua itu akan membuat berat badan kembali berat setelah berpuasa sebulan penuh.  Untuk jenis biskuit, aku tak bisa menolak tawaran biskuit coklat. Dulu, ketika SMP, aku selalu membeli biskuit dengan krim coklat di warung. Aku belajar dan mengerjakan PR sampai malam pun bisa betah di dalam kamar terus. Sampai ibuku heran dan baru paham kenapa aku

Mengenang Masa Kecil

Terkenang masa-masa kecilku Senangnya, aku s'lalu dimanja Apa yang kuminta selalu saja ada Dari mama, dari papa Cium pipiku dulu Saatku tiba berulang tahun Tak lupa hadiahku sepeda Ku pakai setelah selesai ku belajar Janji mama, janji papa Setelah kunaik kelas Ingin ku kembali Ke masa yang lalu Bahagianya dulu Waktu kecilku Ku dengar cerita Mama papa bilang Aku lincah lucu Waktu kecilku Aku suka bernyanyi. Lirik lagu Masa Kecilku itu memang membawa kita ke masa penuh kenangan. Masa kecil memang indah untuk dikenang. Yah, bagaimana tidak? PR dari sekolah tidak banyak. PR yang kusuka adalah PR menggambar. Satu-satunya buku bacaan anak adalah Bobo. Masih bebas main dengan teman sejak pulang sekolah sampai menjelang magrib. Mau main sendiri dengan boneka-boneka, main bola bekel, congklak pun asyik aja rasanya. Aku makin betah di rumah ketika bu De (kakak kandung ayahku) mengajariku membuat bunga dari kertas krep. Hal yang kuingat ketika menjelang sore adalah tukang bakso ya