Langsung ke konten utama

Sebuah Integritas dan Resolusi


Kali ini, aku hanya ingin curhat. Aku tak tahu harus kuceritakan kepada siapa segala rasa ini. Sumpek rasanya. Lelah dan jenuh rasanya. Meluapkan dengan celotehan kecil di status WhatsApp atau Facebook bukanlah cara yang tepat lagi. Aku tak ingin segala rasa ini menjadi bumerang untukku. Sudah cukuplah rasa sesak ini, tak perlu ditambah dengan masalah baru. Tulisan ini mungkin tidak akan menarik untuk dibaca. Atau mungkin menjadi menarik bagi yang kepo. Setidaknya, halaman ini adalah halaman yang tersisa yang bisa kupakai untuk meluapkan kesumpekan ini. 

Curhat Akhir Tahun

 Setelah episode 50 tahun kehidupan yang penuh perjuangan, sudah sepantasnya aku mendambakan kehidupan yang damai. Tak perlu ada drama yang membuat dilema langkah. Tak perlu ada episode rasa negatif yang bisa menurunkan imunitas. Namun, karena waktu hidupku masih berdetak, aku masih harus berjuang untuk bertahan dengan sehat, stabil, dan sebaik mungkin yang bisa kuupayakan. 

 Satu-satunya pekerjaan yang bisa menerima kondisiku adalah posisi sebagai marketing, tak peduli produk apa saja yang bisa dijual, asal tidak menjual diri. Pekerjaan itu, mau tak mau, harus bertemu dan berinteraksi dengan orang lain. Seni berkomunikasi, etika, empati, dan segala yang mendukung untuk berinteraksi baik dengan orang lain harus kukuasai. Kemampuan itu harus kumiliki atau harus kupelajari. Untuk mempertahankan hubungan baik dengan konsumen, aku harus lakukan pelayanan setelah penjualan atau yang dikenal dengan sebutan service after sales. Inti pelayanan itu adalah membina hubungan baik dengan konsumen agar terjadi penjualan lagi di kemudian hari. Promosi dan mencipta kesan baik (personal branding promotion) selalu dilakukan di mana saja dan kapan saja. Hal itu termasuk ketika aku dalam kegiatan lain. Dengan begitu, konsumen-teman-tetangga-dan siapa saja akan bisa menilai bahwa aku adalah orang yang bisa dipercaya sehingga mereka akan bisa percaya juga dengan segala yang aku tawarkan.

 Komitmen diri itu perlu, dan konsistensi sikap menjadi tolok ukur kesungguhanku. Lama kelamaan sikap itu menjadi kebiasaan. Rasanya ada yang salah jika aku melakukan sebaliknya. Namun, ketika aku melakukannya secara totalitas, itu semua sangat menyerap energiku. Apalagi setelah mengetahui ada orang-orang yang memanfaatkan kesungguhanku itu untuk keegoisannya. Sementara aku tenggelam dalam kesungguhanku hingga mengesampingan rutinitas harianku. Aku kesampingkan merapikan rumah. Aku setengah hati ketika orang-orang tercinta meminta perhatian. Aku jeda berkepanjangan untuk merealisasikan resolusi tahunanku. Aku kesampingkan kepentinganku.

 Setahun lalu, tanpa kusadari, aku sudah keterlaluan pada diriku sendiri. Kesungguhanku pada event itu ternyata tidak dibarengi dengan kesungguhan orang-orang di sekitarku. Ketika aku sangat serius, mereka menjalankan dengan setengah serius. Mereka masih bisa menjalankan kehidupan hariannya, sementara kehidupan harianku sudah makin compang camping. Pertama kali aku ingin menangis kala malam itu. Beberapa hari tak kudapati komunikasi yang mengarah keseriusan personil tim untuk menggarapnya. Aku merasa sendirian untuk mengawal event itu berjalan dengan semestinya. Aku masih saja berkutat dengan angka-angka yang semakin hari semakin terasa menjenuhkan. 

 Aspirasiku diabaikan, tapi aku masih juga bekerja dengan kesungguhan yang tak luntur. Berulang kali kusampaikan aspirasiku, masih juga diabaikan, meski secara hitungan angka di layar laptopku, hal itu memungkinkan dan layak diperhatikan. Waktu terus berputar dan mereka baru tersadar bahwa hari H telah dekat. Semua baru panik, dan jadilah aku seolah Google bagi mereka. Padahal aku pun panik tak karuan. Ada banyak hal tidak kuketahui dan aku hanya bisa mengupayakan pekerjaanku berjalan dengan baik.

 Aku tak hanya menjalankan perananku. Aku pun menjalankan peran orang lain yang perlu bantuan. Ah, gila rasanya. Aku benar-benar tanpa sadar telah terlalu besar memberi empati pada orang lain tapi tidak terhadap diriku sendiri. Aku urusi makan orang lain, sementara aku sendiri tidak makan dengan menu yang sama. Parahnya, kesibukan itu hingga aku melewatkan waktu-waktu ibadahku. Sungguh aku merasa rugi sekali. 

 Event berlangsung sukses, tapi orang hanya melihat seseorang saja yang sukses membawa event itu berlangsung. Hahahaha... hebat sekali, dan itu berimbas pada kisah lain yang menyesakkan juga. Bukan aku ingin diakui, tapi sesungguhnya pekerjaan itu adalah pekerjaan tim. Semua tak akan berjalan lancar kalau tidak ada tim itu. Namun citra itu sudah melambungkan nama, harga dirinya, dan egonya. Sampai di situ, aku menahan hati, menahan pikiranku, menahan diri sepenuhnya untuk tidak emosional.

 Selesai event, laporan kegiatan pun harus dibuat. Aku hanya istirahat semalam, keesokan harinya sudah berkutat dengan laporan. Satu dua orang saja yang peduli dengan tahapan kerja ini yang membersamaiku. Yang lain mungkin masih tidur nyenyak, melepas lelah ditemani keluarga tercinta. Ah,.... 

Tangis kedua kulepaskan ketika semua dirasa telah selesai. Lelah, kurang tidur, dan emosi yang berantakan itu telah memecah tangisku sesenggukkan tak karuan. Malu... ah, aku tak peduli.

Kesadaran di Akhir Tahun

 Sebulan, dua bulan kulalui dengan angka-angka yang harus kulaporkan. Menghitung ulang berulang kali agar tidak terjadi kekeliruan. Sementara semua orang sudah kembali dengan kehidupannya masing-masing. Aku masih terus berkutat dengan angka-angka ini. Aku coba mengerti kesibukan mereka dengan empatiku. Tapi aku lupa berempati dengan kehidupanku sendiri. Hingga muncul kesadaranku bahwa ini semua harus segera berakhir. Hitungan tahun sudah hampir berakhir, dan sangat konyol jika masih berkutat di hal yang sama. Ini harus segera diselesaikan. Ada target lain yang harus dikerjakan dan dikejar, apalagi itu berpengaruh pada integritasku pada pekerjaan. Aku harus berempati dan memperhatikan kepentinganku juga. Hidup ini harus adil, bukan?

 Pertemuan kecil telah mengeluarkan keputusan bersama. Bukan tugasku untuk menyampaikan, tapi juga bukan salahku jika pelaporan itu ditunda. Aku harus selesaikan laporan ini sebelum akhir tahun. Akhir tahun, benar-benar kuselesaikan sesuai tenggat yang kubuat sendiri. Sementara orang-orang bisa menikmati liburan akhir tahun dan membuat kenangan kembang api yang meluncur indah di angkasa malam. 

 Aku tak peduli syok yang mereka terima, seperti tak pedulinya mereka dengan hidupku yang terlunta-lunta dengan angka-angka itu. Tak kupungkiri gelombang tanda tanya pun bermunculan efek ketakacuhan mereka selama ini. Tahun 2023 harusnya kujalani dengan semangat baru, resolusi baru, dan mewujudkan impian yang tertunda. Hey,... aku punya hak atas hidupku, seperti halnya kalian semua menikmati kehidupan kalian selama ini. 

 Ada nada tuduhan tak enak yang ditujukan kepadaku. Aku tak peduli. Aku tak bergeming. Aku tak berkomentar sedikitpun. Namun, dalam diam ku, emosiku naik turun. Betapa tampak jelas semuanya ingin beres, bagus, tapi tanpa effort. Sementara aku dibiarkan menyelesaikan sendirian. Tak ada bimbingan yang dibutuhkan, tak ada peduli itu.Yang ada hanyalah tuntutan agar nama baiknya aman, tapi tak peduli di baliknya remuk redam. Ah, dejavu. 

 Permainan politik pun ikut campur. Setidaknya begitulah analisaku. Terserah jika itu dinilai buruk sangka. Tapi perspektifku dengan melihat segala perkembangan yang terjadi, yah... seperti itulah!

 Betapa cobaan orang beribadah itu luar biasa. Kamis itu, aku jalani puasa sunah Senin-Kamis. Pagi itu, aku dikejutkan dengan kabar murai kecil yang tiba-tiba saja bertindak seolah pahlawan kesiangan. Meskipun katanya punya maksud baik, tapi yang tampak hanyalah melompat ke sana kemari dengan centilnya mencari perhatian dengan cara tidak bijak. "Terserah jika memang maksudnya memang menciptakan chaos!" Namun peringatanku tak mempan meski kusampaikan hingga tangis sesenggukan (lelah fisik dan mental, serta penyesalan dengan segala kerugian waktu yang berlalu melepas air mataku tumpah). Masih juga dia bertingkah dengan kebenaran yang diyakininya, tanpa bertanya, tanpa konfirmasi. Yang ada hanyalah pernyataan dan pertanyaan yang mengadili. Penjelasan apapun tak mempan. Kesepakatan untuk mendiamkan adalah final, meski konsolidasi dan konsultasi dilakukan demi selesainya semua ini agar menjadi lebih baik. 

 Untuk sementara, aku gemap. Sungguh, betapa semua ini masih belum selesai. Awal tahun baru ini masih juga harus berkutat dengan angka-angka itu dan segala buktinya. Namun, sejak sekarang, aku harus mulai realistis dan kerja imbang. Aku harus mulai mengutamakan diriku dan kehidupanku. Aku harus kembali menjadi seorang marketer yang menjual produk yang aku jual. Sudah cukup kesungguhan dan empati kuberikan untuk social branding yang ternyata tak sepadan itu. 

Resolusi yang kubuat untuk tahun 2023


 Kembali pada semangat tahun baru yang dimulai dengan menuliskan impian yang akan dicapai pada tahun ini. Aku harus : 
- pastikan anakku kerjakan skripsi, sidang, lulus dan wisuda. Aku harus perhatikan dia lebih. Aku tahu dia sedang membutuhkan perhatianku.
 - membereskan rumah, ini demi kenyamanan dan kesehatanku.
 - membereskan taman, ini pun demi kenyamanan, immun booster ku, dan hiburanku di kala penat.
 - menjaga kesehatanku. Harus mulai olah raga dan menjaga asupan gizi sehari-hari. 
- closing case untuk validasi dan kontinyu seterusnya untuk tujuan-tujuan finansial pribadi. Ah... betapa pengorbananku berbuah ancaman validasi.
 - membaca buku dan review sebagai kontent.
 - menulis novel / buku solo , ini sebagai pencapaian hidupku yang lain dan sebagai rintisan pekerjaan dan pendapatanku yang lain. 
- daftarkan haji dan umroh tahun ini. Ini memerlukan setidaknya dana 60 juta Betapa itu semua tidak main-main.

 Itu semua memerlukan kesungguhan yang serius. Ya Allah, bantu aku untuk wujudkan itu semua. Aamiin.

Khawatir dan Waspada

Apa yang telah kulalui menyisakan keresahan lain. Kegiatan yang berawal untuk senang-senang, ternyata berujung serius dan tegang. Penilaian demi penilaian muncul dan penilaian terhadap diriku pun tak terhindarkan. Sungguh, ini semua sangat terasa mengarah rusaknya silaturahmi jika tidak ada sikap legowo. Penilaian buruk yang mungkin terjadi bisa berpengaruh pada pekerjaanku. Setidaknya hal itu bisa terjadi  jika aku menawarkan produkku pada mereka. Rasa nyamanku untuk berkomunikasi pun akan terganggu, meski sikap profesional akan bicara. Tak kupungkiri mereka adalah prospek yang bagus semua. Itu pula salah satu alasanku masih bertahan dalam komunitas ini. 

Yah, mau tak mau, rasa khawatir itu muncul. Namun, Aku pun tak dapat berdusta jika rasa kesal, lelah, dan entah apa lagi ini sangat mempengaruhiku. Pikiran kritisku tak bisa pungkiri untuk menegaskan dan jujur untuk mengatakannya. Dejavu yang kualami membuatku bertahan. Aku tak mau diperlakukan sia-sia, dimanfaatkan habis, dan tidak mendapat imbangan keadaan pada pihakku. Tak kupungkiri, ada sisi di dalam diriku menuntut keadilan. Apresiasi itu aku butuhkan atas kesungguhan dan totalitas yang telah kulakukan, meski aku sadar, nilainya tetap saja tak sepadan dengan effort yang telah kulakukan. 

Sikap waspadaku saat ini adalah bertindak bersama orang-orang yang mempunyai pikiran yang sama. Bersyukur bahwa masih banyak orang-orang yang bisa memahami diriku, langkahku, sikapku, dan paham lelahku. 
Ah, semoga semuanya akan baik-baik saja. Aamiin.


Komentar

  1. Semangat teh Sari. Memang membahagiakan diri dan keluarga yang paling utama deh, juga hubungan ke Yang Maha Kuasa... Biar balance semua, aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Andina. Iya ya, kalau kita happy, semua kerjaan juga beres. Kalau sudah gak happy, kerjaan jadi beban aja jadinya.

      Hapus
  2. Aamiin aamiin ya Rabb. Mba Sari, speechless saya membaca tulisan Mba Sari :(.
    Saya hanya ingin bilang, semoga Gusti Allah selalu melindungi Mba Sari dan memberikan Mba Sari kesabaran, energi, dan kelancaran dalam menjalankan semuanya. Salam peluk untuk Mba Sari...

    BalasHapus
  3. Aamiin... Peluk jauuuh. Aku juga sedang belajar bahwa mengutamakan diri sendiri itu bukan berarti egois. Tetap semangat ya mbak 🤗😘

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi

Jelajah Dunia Kopi

Oktober datang, musim pun berganti menjelang. Angin berbisik lebih dingin, Menarik awan menggumpal tebal, Sebentar saja hujan pun tumpah, Gerimis hingga menderas, Nyamannya meringkuk dengan secangkir kopi panas. Awal bulan Oktober, grup MGN bukan hanya mengumumkan hasil tantangan bulan September, tetapi juga menyampaikan kabar tantangan bulan Oktober. Wah, kok tepat dengan suasana hujan dan ngopi sore ini. MGN menetapkan Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober dengan tema Mamah dan Kopi. Hmm… mataku langsung melirik pada cangkir kopi di meja. Pikiran pun mengembara ke berbagai pengalaman tentang kopi yang pernah kucicipi.  Masa SMA adalah awal aku mencicipi kopi dan menjadi teman mengerjakan tugas sampai tengah malam. Namun suatu hari, ibuku melihatku minum kopi dan berkomentar bahwa lebih baik minum coklat panas daripada kopi. Hal itu karena coklat bisa menguatkan jantung, sedangkan kopi membuat jantung tidak sehat. Saat itu belum ada Google untuk mencari tah

Kreatif dengan Memanfaatkan Apa yang Ada di Sekitar

Hidup ini memang harus kita jalani apapun yang terjadi. Tidak mungkin kan, hidup harus di hentikan sesaat hanya karena apa yang harus kita jalani menemui kebuntuan. Selagi hidup masih berlangsung, kita masih perlu makan, minum, mandi, dan lain-lain. Setidaknya, kita masih perlu akan kebutuhan dasar. Oleh karena itulah, kita harus kreatif untuk mencari jawaban atas kebuntuan yang bisa jadi kita temui dalam hidup.  Kalau kita mengikuti kegiatan pramuka, tentu kita diajarkan tentang bertahan hidup dengan peralatan yang minim. Belajar hidup sederhana dan bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Dari situ, seorang pramuka akan siap menghadapi kondisi hidup sulit sekalipun.  Namun ternyata, kondisi tersebut pun dialami oleh anak-anak yang tinggal di pondok pesantren. Anak saya yang kedua telah memilih untuk melanjutkan sekolah tahap SMP nya di Pondok Pesantren Assalam Solo. Betapa suatu pilihan yang sulit bagi saya waktu itu, karena, dengan begitu, saya tidak lagi melihatnya bangun pagi da