Hari Pendidikan Nasional sudah lewat. Namun, berbicara tentang pendidikan yang berkaitan dengan pola asuh anak tentunya akan tetap mengasyikkan dan tetap menjadi topik menarik bagi para orang tua, terutama yang memiliki anak. Seperti halnya para Mamah Gajah yang menetapkan Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog bulan Juni 2022 ini tentang Mamah dan Parenting.
Memasuki dunia rumah tangga, setiap orang akan mendambakan hadirnya seorang anak. Keberadaan anak, tentunya, akan melengkapi kebahagian dalam keluarga dan menjadi semangat untuk menjalani kehidupan di masa depan. Berbagai rencana untuk semua hal akan dilakukan, termasuk pendidikan untuk anak-anak.
Pada dasarnya, di zaman apapun, harapan setiap orang tua terhadap anaknya adalah sama. Sama-sama mengharapkan anak-anaknya akan tumbuh menjadi anak yang baik, sopan, rajin, berempati, dan segala hal sifat baik yang menunjukkan sebuah karakter pribadi yang baik. Untuk itu, setiap orang tua akan mengajarkan hal-hal baik. Namun, orangtua dahulu dan sekarang mempunyai gaya dan cara yang berbeda dalam meyampaikan pengajaran dan bimbingan agar anak tumbuh sesuai dengan harapannya.
๐ท๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐ข ๐๐ซ๐ ๐๐๐๐๐ฅ๐ฎ๐ฆ ๐๐๐ค๐ง๐จ๐ฅ๐จ๐ ๐ข ๐๐ง๐ญ๐๐ซ๐ง๐๐ญ
Zaman dahulu, sebelum ada teknologi internet, orang tua mengajarkan hal-hal baik melalui dongeng. Berbagai kisah kepahlawanan, kisah perilaku baik dan buruk, atau kisah apapun diceritakan pada saat sebelum tidur, setelah makan malam, atau saat-saat berkumpul dengan keluarga besar. Anak-anak akan dengan senang hati mendengarkan bahkan sangat menantikan kesempatan tersebut. Dongeng yang diperdengarkan bukan hanya sekedar hiburan, tetapi bisa menciptakan impian yang menggambarkan masa depan si anak kelak.
โAku ingin menjadi seperti pahlawan yang diceritakan tadi.โ
โAku ingin menjadi โฆ
Keterbatasan sumber bacaan membuat anak-anak dahulu akan mendengarkan apa kata orang tua dan guru. Anak tak mempunyai keberanian untuk membantah. Apalagi ada budaya yang mencegahnya untuk membantah, yaitu adanya kata pamali (bahasa Jawa Barat) atau ora elok (bahasa Jawa Tengah). Mungkin di daerah lain mempunyai kebiasaan yang sama pula dengan sebutan pamali dalam bahasa khas mereka. Namun, ketidakberanian anak-anak untuk membantah bukan berarti mereka tidak mempunyai opini sendiri yang bisa jadi bertentangan dengan yang dikatakan orang tua. Mereka menyatakan tidak setuju dengan melanggar nasihat di belakang orang tua secara diam-diam.
Ya, tentu saja pelanggaran itu, jika ketahuan, akan berakibat hukuman untuk anak karena tidak mendengarkan dan mengikuti nasihat orang tuanya. Hukuman sekali, dua, atau tiga kali itu kadang pun terjadi tergantung seberapa besar kekuatan opini pribadinya ingin dibuktikan. Pada kondisi yang demikian, masyarakat umum akan menyebut mereka sebagai anak-anak nakal, bandel, atau yang serupa dengan itu. Namun sesungguhnya, mereka bukan nakal atau bandel. Mereka hanya ingin pendapatnya didengar, ataupun memerlukan kesempatan untuk uji coba, seberapa benar atau berhasil opininya yang berbeda dengan nasihat orang tuanya.
๐ท๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐ข ๐๐ซ๐ ๐๐๐ค๐ง๐จ๐ฅ๐จ๐ ๐ข ๐๐ง๐ญ๐๐ซ๐ง๐๐ญ
Di era serba instan saat ini, perolehan informasi pun bisa secara instan. Kita semua, termasuk anak-anak, mempunyai akses yang sangat mudah dengan dunia maya yang menyuguhkan berbagai informasi. Lepas dari kesibukan orang tua, orang tua masih mempunyai kewajiban mendidik dan memberi pengarahan kepada anak-anak. Nasihat orang tua yang disampaikan melalui komunikasi dalam keluarga tentunya masih sangat diperlukan oleh anak-anak. Namun, ayah bunda di era ini tidak bisa meniru cara mendidik orang tuanya pada anak-anaknya.
Kemudahan akses informasi yang mudah itu membuat anak-anak bisa mencari sendiri jawaban yang dibutuhkan. Kalaupun anak-anak masih bertanya kepada orang tua, mereka bertanya bukan karena mencari jawaban, tetapi mencari pendapat kedua atau menguji jawaban yang sudah ada dengan jawaban orang tuanya. Jika anak lebih percaya dan yakin pada jawaban yang mereka peroleh dari internet, anak tak akan ragu pula untuk bersilang pendapat dengan orang tuanya. Di sinilah terasa pergeserannya. Dengan begitu, cara mendidik anak-anak yang disebut generasi milenial memang perlu pendekatan berbeda.
Beberapa hari lalu, saya dapati postingan instagram seperti berikut :
Sebagian besar netizen percaya bahwa pernyataan itu benar-benar hasil penelitian yang valid sehingga membuat permakluman atas kenakalan mereka selama ini. Sementara saya menyatakan tidak setuju. Pertanyaannya, apakah anak-anak tahu dan sadar bahwa dirinya nakal? Dengan begitu, penilaian dengan cara penghakiman seperti itu adalah tidak layak dan tidak adil untuk anak-anak. Anak-anak tidak tahu bahwa dirinya melakukan pelanggaran yang bisa merugikan orang lain. Anak-anak bertindak di luar yang semestinya itu bisa jadi karena rasa ingin tahunya dengan kontrol emosi yang belum stabil. Mereka bereksperimen untuk mencari jawaban atas masalah yang mereka hadapi. Di situlah peran orang tua dan lingkungan untuk memberi tahu dan memberi pengarahan yang bisa mereka terima.
Dengan kata lain, anak-anak yang disebut nakal itu sebenarnya anak-anak yang cerdas dan mandiri. Mereka belajar sendiri dengan mencari jawaban atas segala tanya yang berkecamuk di benaknya. Segala uji coba akan dilakukan meski kadangkala membahayakan dirinya. Di saat itulah, peran orang tua dibutuhkan untuk tetap mendampingi agar uji coba yang dilakukan tetap dalam batas aman untuk anak-anak dan tidak melanggar tatanan sosial yang berlaku.
Memotivasi Anak Milenial
Peran orang tua bukan hanya menasihati, tetapi juga memotivasi agar anak-anak tetap semangat meraih cita-citanya dengan cara yang baik dan benar pula. Namun, orang tua masa kini bisa jadi akan kehabisan kata untuk berkomunikasi dengan anak milenial. Perhatian anak bisa jadi akan lebih tercurah pada sosial media daripada kata-kata orang tua. Bisa jadi, jika orang tua menasihati, anak akan menjawab : โIya, Ma. Aku sudah tahu.โ Keheningannya bersama sosial media seolah enggan terusik dengan kata-kata dari orang tuanya. Mereka mau menjawab saja sudah bagus, karena lebih sering tetap saja membisu seolah tak mendengar suara apapun di sekitarnya.
Nasihat dan bimbingan orang tua tak selalu harus dengan kata-kata. Ada banyak cara untuk menyampaikan pesan baik kepada anak. Satu hal yang ingin saya bagi melalui tulisan ini adalah ketika anak sulung saya berulang tahun. Saya lupa, ketika itu ulang tahun ke berapa. Yang saya ingat, saat itu, anak saya masih duduk di bangku SMP. Kado ulang tahun belum ditentukan, tapi saya sudah menetapkan akan mencarinya di toko buku.
Di dekat pintu masuk toko buku itu, saya melihat tumpukan buku-buku yang baru saja terbit. Mata saya jatuh pada suatu buku yang covernya menarik. Saya buka daftar isi dan membaca beberapa halaman awal dan saya pun memutuskan buku itu menjadi kado ulang tahunnya.
Di luar dugaan, buku itu ternyata sangat menginspirasinya untuk banyak hal yang belum terpikirkan olehnya. Hingga sekarang, buku itu menjadi buku pegangan dia kalau motivasinya sedang merosot. Hal itupun ia kisahkan pada videonya di TEDxITB Speak Up Fair .
Orang Tua Sebagai Cermin
Setiap anak mempunyai karakternya masing-masing. Oleh karena itu, suatu cara yang berhasil diterapkan pada seorang anak, belum tentu berhasil diterapkan pada anak lain. Orang tua pun akan terus belajar dengan segala perkembangan anak-anaknya yang unik. Kakak beradik saja bisa jadi perlu pendekatan yang berbeda. Namun, contoh nyata dari orang tua adalah panutan yang tak akan diingkari.
Jika orang tua meminta anak agar berbicara yang sopan, orang tua pun harus biasa berbicara yang sopan kepada siapapun. Intinya, perilaku orang tua akan menjadi cermin nyata bagi anak. Dengan begitu, sadar maupun tidak, anak akan meniru perbuatan orang tua. Namun, anak-anak pun tak akan segan mengritik orang tuanya yang mereka nilai tidak sesuai dengan nilai-nilai yang telah diajarkan.
Jadi, sebagai orang tua dari anak-anak milenial, kita harus selalu waspada dengan ucapan, tingkah laku, dan perbuatan. Memang tak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Untuk itu, kita harus terus belajar sesuai dengan segala perubahan zaman yang akan mempengaruhi perkembangan anak-anak kita.
Waaahhh ... thanks Teh Sari sudah kasih insight itu buku bagus. Aku kepingin beli juga deh buat hadiah Teteh. Kita seumuran nih ya ... Emak jelita anak milenial ha3 ... Kudu terus belajar ya Teh agar menjadi orangtua yang terbaik baik anak-anak kita. Aamiin ...
BalasHapusMasya Allah keren anak teh Sari. Aku ikut manggut aja sebagai orangtua anak masa kini
BalasHapusNggak ada sekolah khusus untuk menjadi orang tua. Yang ada kita harus belajar dari pengalaman, baik pengalaman diri maupun orang lain...
BalasHapusDan betul ya, jadi orang tua itu harus belajar terus-menerus sepanjang waktu... ๐ค๐
Mba Sari, tulisannya menarik. Memang ada perbedaan signifikan ya Mba dalam parenting di era sebelum internet dan masa kini.
BalasHapusPutri sulungnya keren banget Mba ,menjadi pembicara di TED ITB. Semoga sukses untuk putri-putri Mba Sari. :)
Aku juga nggak setuju tuh bagian orang yang suka menjatuhkan vonis soal anak pertama, kedua atau terakhir. Itu semua generalisasi dan nggak ada bukti ilmiahnya. tantangan jadi orang tua emang bagaimana melakukan apa yang diajarkan. Kalau mau anak nggak malas, kita juga ga boleh malas. Kalau mau anak nggak mudah komplain, kita juga harus menunjukkan kita nggak mudah compain. Aku setuju banget, sebagai orangtua kita perlu terus belajar menjadi orang tua untuk anak-anak yang juga berkemabng karena kehidupan ini dinamis dan ga ada formula yang bisa diaplikasikan untuk semua orangtua.
BalasHapusWah iya, memang berat tantangan ortu zaman sekarang. Anak digempur dengan informasi dari berbagai sisi, belum tentu informasi yang bagus-bagus saja, bahkan yang berupa racun ada banyak. Semoga anak-anak kita survive sebagai pribadi yang tangguh, yang selalu taat pada Tuhan dan ortunya.
BalasHapus