Awal tahun 2023, Mamah Gajah Ngeblog (MGN) mempunyai cara lain untuk mengajak kita ngeblog bareng. Anggota MGN diminta melakukan pendaftaran ulang sekaligus memberi usulan tema untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog. Saya memberi beberapa usulan tema, salah satunya adalah buku yang berpengaruh pada perubahan pola pikir atau kebiasaan hidup sehari-hari. Kebetulan sekali, tema yang saya usulkan ini menjadi tema bulan Februari 2023 ini.
Saya mengusulkan tema itu karena, sekarang banyak sekali buku bacaan yang berkualitas. Fiksi maupun non fiksi, semuanya menarik. Peminat baca bisa memilih jenis buku apa saja yang disukai. Era teknologi yang semakin canggih memudahkan orang untuk bisa menjadi penulis. Baik itu tulisan berupa curhat, berseloroh, ataupun topik serius. Penulis baru pun bermunculan, tak peduli kualitasnya seperti apa.
Tulisan-tulisan yang terunggah di sosial media adalah tulisan pendek yang bisa jadi mengundang interaksi orang untuk berkomentar setuju atau tidak setuju. Tulisan dalam sebuah buku tentunya sudah sangat terseleksi pembacanya. Pembacanya adalah yang berminat pada jenis buku tersebut dan suka baca.
Tulisan yang panjang dan lengkap dalam buku sangat besar kemungkinannya mempengaruhi pola pikir dan kebiasaan hidup pembaca. Jika fiksi, kisah yang tersaji tentu bisa mengilhami pembaca untuk bisa seperti tokoh yang digambarkan, atau mendapatkan kesan pada nilai-nilai yang terselip dalam kisah fiksi tersebut.
Saya tertarik membahas hal ini karena baru-baru ini kawan saya curhat bahwa anaknya yang semula begitu patuh dan hormat pada dirinya (ibu dari anak tersebut) tiba-tiba berubah sikap. Anak tersebut berpendapat bahwa tidak selamanya ibu selalu benar. Hal itu karena ibu juga manusia yang bisa juga melakukan kesalahan. Sementara dirinya tak tahu apa yang sudah terjadi di masa lalu ibunya yang bisa jadi telah melakukan kesalahan.
Pendapat itu ada benarnya. Akan tetapi, menjadi janggal jika hal itu membuat dia merasa mempunyai hak untuk menghakimi ibunya. Akibat dari pikiran tersebut, anak itu lebih menjaga jarak dengan ibunya. Obrolan ibu dan anak pun terjadi tapi tidak sehangat sebelumnya. Pendapat ibunya selalu saja dipatahkan dengan logikanya sendiri.
Usut punya usut, ketika ibunya membereskan rumah, sang ibu menemukan sebuah buku novel yang menarik perhatiannya. Buku itu berjudul Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya, karya Triani Retno A. Insting keibuannya berkata, mungkinkah anaknya telah membaca buku ini dan menjadi punya pikiran seperti itu?
Buku itu menceritakan kisah seorang anak bernama Amelia yang dibesarkan di perkampungan kumuh di sudut kota Jakarta. Lahir dari pasangan yang masih sangat belia sehingga tidak siap lahir, batin dan ekonomi untuk membina rumah tangga. Amelia tumbuh menjadi gadis cerdas, pendiam, berusaha untuk selalu patuh pada orang tua meski sering mendapat kekerasan dari sang ibu.
Pendidikan SMA diselesaikan dengan baik dan diterima di perguruan tinggi ternama. Namun, orang tuanya tidak memiliki kesanggupan untuk membiayai pendidikannya. Dengan begitu, Amelia pun bekerja dari pagi hingga sore, dan kuliah di malam hari. Sedihnya, hasil kerjanya tidak bisa sepenuhnya untuk membiayai dirinya. Ibunya selalu menghitung kasih sayangnya selama ini sebagai hutang yang harus dibayar oleh Amelia. Ayah Amelia bekerja sebagai buruh yang gajinya tidak mencukupi untuk kehidupan sehari-hari. Mirisnya, ayahnya pun diam dan tak melindunginya ketika ibunya melakukan kekerasan pada Amelia.
Konflik sosial di tempatnya bekerja dan di perkampungan kumuh pun menjadi bumbu cerita yang melengkapi. Gosip bahwa Amelia adalah wanita panggilan pun menyebar hanya karena Amelia selalu pulang malam. Tetangga yang seumur dengannya telah menikah dan mempunyai anak pun menjadi topik perbandingan untuk dirinya. Amelia yang masih harus menyelesaikan kuliah dan mengingat kehidupannya yang payah belum berpikir untuk mempunyai pacar apalagi menikah. Namun, sang ibu yang terbakar gosip pun menjodohkannya dengan seorang yang dipandang akan melepaskan keluarga kecil mereka dari kesulitan ekonomi.
Amelia berontak dan kabur dari rumah untuk membebaskan diri dari segala tekanan. Bermula dari bersembunyi di rumah kontrakan teman hingga keluar kota. Perjuangan Amelia menata hidupnya sendiri di luar kota membuahkan hasil hingga memiliki rumah sendiri dengan pengajuan kredit ke Bank. Tetangga yang baik pun tak lepas dari pertanyaan “kapan akan menikah?”
Bagaimana akan menikah? Amelia sangat berpikir panjang karena calon pasangan dan keluarganya tentu akan bertanya siapa dan dimana orang tuanya. Apa yang bisa ia ceritakan dengan kondisi orang tuanya yang demikian.
Novel ini sangat mengedepankan sebuah kisah dengan luka batin dari tokoh-tokohnya. Akhir kisah yang tragis menimpa Amelia hingga harus menerima kondisi ibunya yang menjadi gila karena terbelit hutang dan tekanan hidup. Ayahnya meninggal karena serangan jantung. Namun Amelia tetaplah anak yang berbakti pada orang tua. Ia membiayai perawatan ibunya di Rumah Sakit Jiwa.
Sebuah kisah yang bagus sebenarnya. Akan tetapi, pembaca bisa saja terpengaruh dari sisi mana saja. Titik penting dari cerita itu adalah tentang pernikahan dini dan pentingnya pendidikan kaum perempuan. Pergaulan remaja yang sehat juga menjadi penting untuk diperhatikan sehingga tidak memaksa remaja harus menikah secara dini. Kesiapan menghadapi masa pernikahan secara lahir, batin, ekonomi menjadi awal kestabilan rumah tangga yang dibangun.
Pendidikan perempuan menjadi sorotan karena, semakin tinggi pendidikan, perempuan bisa berpikir lebih matang mana yang baik dan tidak untuk dirinya. Selain itu, pendidikan yang baik menjadi bekal perempuan untuk bisa menjadi ibu yang baik.
Lalu bagaimana dengan anak teman saya itu? Dia seolah merasa relate dengan Amelia, meski kondisi orang tuanya jauh lebih baik secara ekonomi dan latar belakang pendidikan orang tuanya. Merasa benar menjadi benteng pemisah sehingga sulit untuk diajak komunikasi secara terbuka. Namun, begitulah tulisan yang bisa mempengaruhi pembacanya. Pengaruhnya bisa positif dan negatif. Di situlah tanggung jawab penulis pada pembacanya.
Tulisan yang membawa pengaruh positif pada pembacanya tentu akan menjadi berkah yang baik bagi penulis. Tapi, jika membawa pengaruh negatif, tentunya tulisan tersebut tidak layak untuk dibaca, atau diperlukan kedewasaan berpikir sehingga bisa melihat pelajaran apa yang bisa diambil dari tulisan tersebut.
Sebagai seorang ibu, para mamah Gajah tentu akan sangat selektif memberi bacaan pada anak-anaknya, dan mengawasi bacaan apa saja yang dibaca anak-anaknya. Buku bacaan yang mendidik akan memberi motivasi pada anak-anak untuk berprestasi. Selain itu, mamah pun harus tetap meningkatkan kemampuan diri agar bisa membersamai tumbuh kembang ananda di era teknologi maju ini.
Saya kenal nih dengan penulisnya. Menarik juga temanya dan dampaknya bagi seseorang. Tapi mungkin di situ ya perlunya mendiskusikan buku yang tengah dibaca dengan orang lain. Supaya kita bisa dapat pandangan lain mengenai buku tersebut. Relasi orang tua dan anak itu memang bisa sangat kompleks.
BalasHapusIya mbak Shanty. diskusi itu menjadi perlu untuk bisa mendapatkan pendapat dari sisi yang berbeda
HapusTeh Sari keren ini bukunya ... Jadi kepingin baca deh!
BalasHapusBenar adanya bahwa apa pun itu memiliki dua sisi: baik dan buruk, tergantung bagaimana seseorang memahaminya.
Sepertinya anaknya sahabat teh Sari perlu diajak diskusi tentang buku ini, atau tentang arti sebuah perjalanan kehidupan -terutama hubungan dengan orang tua.
salam hangat
Benar. seperti tayangan televisi, buku juga perlu adanya diskusi tentang isi yang disampaikan dalam buku tersebut. makanya suka ada bedah buku, tentunya itu bukan hanya tanya jawab dengan penulis, bagaimana proses penulisan bukunya. tapi juga membahas tentang nilai apa yang disampaikan dalam buku tsb.
HapusTeman saya di Jakarta bialng kalau kisah ini pastinya diilhami dari kisah nyata di banyak perkampungan pinggiran Jakarta. Ya seperti itulah kehidupan mereka. Pendidikan rendah, ekonomi sulit, pernikahan muda, kehamilan bermasalah, anak stunting, dst. efek domino dari rendahnya pendidikan perempuan.
HapusTeh kok baca nama penulis buku ini, kayanya aku tahu blognya deh. Memang banyak tulisan dan karyanya. Tapi kayanya buku ini sarat emosi ya. Kebayang konflik batin Amelia
BalasHapussaya pun jadi search instagramnya setelah teh Shanty komentar di atas. Nampaknya memang penulis sudah sejak lama.
HapusSudut pandang memang seharusnya tidak hanya dari satu sisi. Seringkali kita bisa mengerti kondisi orang lain ketika kita tahu latar belakang perbuatannya. Tapi ketika orang yang bersangkutan bungkam dan bersikukuh dengan sikapnya tanpa penjelasan, ah... seharusnya tidak mengedepankan ego lalu duduk bersama, saling membuka diri untuk diskusi dan bisa saling mengerti. Semoga putra temennya Teh Sari bisa diajak berdialog dan memahami.
BalasHapusYa ampun Mba Sari, saya nyesek bacanya. Anak teman Mba Sari yang jadi berubah banget setelah membaca "Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya".
BalasHapusPadahal dari sinopsis yang dituliskan Mba Sari, saya melihat sosok Amelia sebagai wanita yang kuat dan berdaya.
Interpretasi orang bisa berbeda ya Mba.
Sepertinya inilah salah satu fungsi adanya book club ya ahahaha biar bisa saling sharing kandungan buku.
Setuju dengan Mamahs semua, perlu ada diskusi mendalam. :)