Untuk Sebuah Nama
beberapa tahun lalu,
aku sudah merasakan akan kehadiranmu,
namun tak kujumpai secara nyata jejakmu,
tapi rasa itu begitu kuat atas keberadaanmu.
bertahun telah berlalu,
aku tak peduli apakah kau manusia atau hantu,
tak kubiarkan jiwa ragaku terjebak dalam bayang-bayang dirimu,
aku memilih untuk bergerak maju bersama waktu.
prahara yang ia tinggalkan telah memecahkan kristal berharga kami,
di sini aku terluka karena serpihan pecahannya,
sementara kau nikmati segala bahagia yang mestinya milik kami,
sementara pedih perih luka itu dibiarkannya menganga.
bertahun kemudian,
ketika luka sembuh sebagian,
ada luka yang tak juga kunjung sembuh,
justru dinikmati dan dinanti saat kambuh.
Sakit, ya… aku tahu. Itu memang sakit.
betapa aku tak boleh mengaduh,
dan aku harus tetap menggenggam kristal pecah itu,
sementara prahara pun bertumbuh,
serpihan pecahan pun makin merasuk serasa membunuh.
hingga kau tersebut diantara amarah,
dan aku pun teryakinkan bahwa kau bukan sekedar arwah,
sebuah jiwa memastikan kau memang ada,
hingga tersebutlah sebuah nama.
bagiku, tak ada lagi air mata,
amarah yang tersisa yang kukira masih ada itu entah pergi kemana,
sedikit perih itu kurasakan di dalam sukma,
namun aku sudah lebih kuat untuk tetap terjaga,
Dan yang kutahu, masa depanku ada pada Pemilik Jiwa.
—----------------------------------------------
Sebuah puisi ini kubuat sebagai gambaran sebuah keadaan.
Diawali dengan sebuah keberanian (atau mungkin bisa dibilang sebuah kenekatan) seseorang untuk mengambil keputusan memisahkan diri dari keluarga yang ia bangun. Dengan sebuah ancaman yang dilontarkan membuat prahara demi prahara bergulung bagai bola salju.
Sebuah dugaan bernada kepastian itu muncul begitu saja dalam pikiran. Namun untuk membuktikannya, sungguh itu akan menyerap tenaga, waktu dan dana.
Tak bermaksud membiarkan, tapi ada banyak urgensi yang harus diprioritaskan.
Seiring dengan itu, berbagai tanya yang tak kunjung mendapat jawaban itu sungguh menyiksa. Bersama waktu berlalu menuai luka demi luka.
Dengan segala daya bertahan demi mempertahankan yang tersisa, satu jiwa remuk redam dan hanyut terbawa arus refleksi.
Sepenuh tenaga menarik kuat agar keluar dari pusaran arus refleksi itu. Berulang kali pula gagal bahkan justru ikut terluka. Sementara berusaha mengambil sikap positif, hasil refleksi itu justru mencari sebab musabab kesalahan. Dengan menebar arah telunjuk, semua pihak diasumsikan salah.
Sebuah kesempatan tercipta oleh takdir. Jiwa yang terluka menyaksikan sebuah kenyataan pahit. Luka yang dirasa semakin parah. Menangis mengemis memohon pulang dengan membawa kesaksian bahwa dugaan itu adalah sebuah kenyataan pasti. Tak diragukan lagi.
Sebuah nama tersebut dan bukti itu pun terungkap.
Sebuah kenyataan yang mau tak mau memeras air mata keluar dengan deras.
Sementara sepasang mata yang telah kehabisan air mata hanya bisa terdiam. Ada pedih di hati yang telah lama ditinggal pergi rasa sedih. Kini tinggallah hampa rasa.
Komentar
Posting Komentar