Langsung ke konten utama

Because Life Must Go On


Menjadi single parent bukanlah impian dalam hidup setiap manusia. Tentunya, harapan hidup bahagia hingga maut memisahkan adalah tagline yang pasti. Sangatlah janggal jika perpisahan dan perceraian adalah tujuan dari pernikahan. 


Namun perjalanan hidup setiap manusia adalah unik. Tak ada yang sama antara satu dan yang lainnya. Ada banyak pasangan yang bisa menjalani kehidupan bersama hingga akhir hayat mereka. Ada juga pasangan yang menjalani masa pernikahan hanya beberapa tahun saja. 


Ada banyak cerita yang mendasari perpisahan antar pasangan. Perbedaan visi dan misi dalam membentuk keluarga bisa menjadi salah satu alasan. Sering juga terjadi karena ketiadaan komunikasi yang baik dan hadirnya pihak ketiga. 


Terjadinya perceraian dalam keluarga, tentunya mengoyak kedamaian hidup dalam keluarga. Seluruh anggota keluarga yang terlibat di dalamnya akan merasakan luka. Seorang istri yang dicerai dan anak-anak yang menyaksikan perpisahan orang tuanya akan merasakan kesedihan yang kompleks. 


Dalam hal tersebut, seorang istri dan anak-anak tersebut adalah korban yang membutuhkan bantuan. Bantuan dan dukungan moril tersebut, mereka butuhkan untuk menyembuhkan luka dan bisa bertahan dalam menjalani sisa hidup. Proses penyembuhan luka itu sendiri membutuhkan waktu. Sementara, proses yang harus dijalani itu tidaklah mudah, karena mereka pun harus berjuang untuk bertahan hidup.

Air mata harus buru-buru dihapus begitu melihat kenyataan bahwa anak menangis karena lapar, karena harus bayar spp sekolah, dan sederet keharusan hidup lainnya. 


Seorang istri yang semula sebagai ibu rumah tangga saja, mendadak harus mencari nafkah. Anak-anak yang semula bersekolah dengan bahagia, mendadak harus ikut memikirkan keruwetan masalah keluarga, atau malah menjadi tidak jelas masa depannya. Ketidakpastian hidup harus mereka hadapi, sementara mereka bingung kemana hendak melangkah. 


Takdir kehidupanku pun ternyata memiliki bagian cerita bab perpisahan. Bermula dari berpisah lokasi karena pekerjaan, dan kemudian masalah demi masalah muncul menyertai. Sebagai orang yang sadar akan tanggung jawab, setiap masalah yang muncul kucoba hadapi satu per satu. Meskipun, masalah datang seringkali secara bersamaan. Perempuan sering dibilang sebagai makhluk yang multitasking. Tapi bukan berarti lingkungan sekitar membolehkan diri memberikan masalah yang kompleks pada perempuan, bukan ? 


Menjalani kehidupan di tempat berbeda, akan menghadapi masalah-masalah yang berbeda. Dengan demikian, pribadi kami berkembang dengan cara dan pengaruh lingkungan yang berbeda. Aku sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaan hariannya tak pernah selesai. Anak-anak pergi ke sekolah dan sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya. Kami tak ada waktu untuk mendengarkan pendapat orang lain. Sementara pasangan hidup yang harus mencari nafkah di lain kota, sering mendengar komentar orang sekitar. 


Beberapa koleganya berkomentar bahwa keluarga itu sebaiknya hidup bersama, tidak hidup terpisah. Keluarga yang terpisah akan menambah beban pikiran sementara pekerjaan pun sudah menyita perhatian. Komentar-komentar tersebut menarik perhatian pihak ketiga yang terpancing untuk menjadi pahlawan kesiangan. Pihak ketiga itu merelakan diri untuk menjadi pasangan hidupnya. Bahkan ia menyatakan diri akan ikhlas ikut kemanapun jika dipindahtugaskan. 


Pihak-pihak luar itu tak mengerti apa yang harus dihadapi keluarga ini. Betapa aku harus mendampingi anak-anak yang sedang menghadapi masa ujian akhir semester dan kenaikan kelas. Genteng rumah yang bocor, talang air yang rusak, saluran air bak cuci piring yang mampet pun menyertai masalah hidupku saat itu. Sementara pasangan hidup lebih mendengarkan komentar orang daripada masalah yang sedang dihadapi keluarga ini.


Berbulan sudah tak mau bicara. Bahkan memisah bilik ketika pulang. Bersabar dan bertahan tak hanya sehari dua hari. Perubahan perangai dan perlakuan harus kuhadapi. Mudahnya kata terucap mencari-cari kekurangan dan kesalahan. Tak disangka kata cerai pun terucapkan. Sekali lagi kucoba bertahan. Namun komentar orang lebih ia hiraukan. Hingga tak ragu ia melangkah ke pengadilan, menggugat ku dengan sekian alasan yang dikarangnya. 


Pengadilan adalah tempat yang tak pernah diimpikan untuk didatangi. Berada di depan hakim pengadilan seolah menjadi penjahat meski sadar bahwa diri ini adalah korban. Berbagai perasaan buruk menghampiri dan memperburuk kesehatan ku. Keputusan belum final di hadapan hakim, namun tentu akan berbeda dengan ketetapan di depan Allah. Itu membuatku tak bisa menerimanya kembali dengan mudah.


Janji terucap untuk menjaga dan bertanggung jawab atas diriku hingga akhirat. Tapi ternyata aku semakin sekarat selama bersamanya. Aku bertahan dengan cinta dalam genggaman, memeluk buah cinta dengan segenap kasih sayang. Namun aku remuk redam bersama buruknya perlakuan. 

Setelah ia putuskan untuk berpisah, mencipta dinding pembatas halal dan haram, bagaimana aku bisa setuju begitu saja untuk membiarkannya kembali ? 

Siapa yang bisa menjamin bahwa tak akan ada lagi perlakuan buruk ? 

Tak ada. Tak seorang pun. 


Setahun berlalu, tak juga ada putusan pasti melalui palu hakim. Aku menuntut untuk penyelesaian yang benar. Tapi ia malah memintaku yang menyelesaikan absahnya perpisahan. Betapa aku ingin berucap sumpah serapah. Tapi seorang ibu seperti diriku tak bisa berucap selancar penjahat. Karena aku pun seorang pendidik untuk anak-anakku. 


Aku minta untuknya agar menyelesaikan apa yang sudah ia mulai. Mungkin sudah sejuta kata kusampaikan agar ia lakukan tanggung jawabnya. Belasan tahun aku mendampinginya. Namun cintaku tak cukup membuatnya bertahan dalam kebersamaan. Ikhlas kuberikan jika ia memang berkenan pergi. Namun selesaikan semua tugas dan kewajiban sebelum pergi. 

Sebagai orang tua, ia pun harus tahu apa yang terjadi dengan anak-anaknya. Ku beritahu bahwa anak-anak menderita luka karena semua ini. Trauma kehidupan yang akan terus tercatat dalam warna kehidupan mereka. Semua itu telah mencipta catatan kaki  di sepanjang perjalanan kehidupan mereka. Sampai kapan kami harus bersembunyi dari fakta ini ? Fakta bahwa keluarga ini telah pecah. 

Kukatakan : 

Tiga anakmu perempuan, 

Tiga saudaramu perempuan,

Banyak keponakan dan sepupu mu pun perempuan,

Bahkan ibumu pun perempuan,

Mereka semua sama seperti aku. Perempuan. 

Tegakah kamu jika mereka semua mengalami apa yang aku alami ini ? 


Tak ada kata. 

Tak ada jawaban. 

Sementara kehidupan harus terus berlanjut. 

Betapa berat menata hati sambil harus terus melangkah maju. 

Yang semula bekerja untuk mencari tambahan nafkah, kini aku berjuang untuk mencari nafkah. Itu berarti aku harus lebih aktif bertemu dengan orang, bersilaturahmi melalui berbagai media. 


Facebook adalah salah satu media penghubung ku dengan teman-teman, konsumen, dan komunitas baru yang memungkinkan ku menjemput rezeki. Melalui Facebook, aku jumpai komunitas SMI (Single Moms Indonesia). Aku bergabung di bulan Januari 2021. Aku bergabung tanpa harapan apa-apa. Aku hanya merasa perlu bergabung dengan orang-orang yang punya penderitaan yang sama. Dengan demikian, aku bisa saling berbagi dan mempunyai kekuatan untuk berdiri tegak menghadapi belantara kehidupan ini. 


Komunitas ini menyebut diriku sebagai Mamos, para mom yang strong. Ribuan mamos seperti ku bergabung dalam komunitas ini dengan berbagai cerita. Sebagian sudah benar-benar berdiri tegak dan tegar. Bahkan sudah mampu tersenyum ketika berkisah tentang masa lalu.  Namun masih banyak juga yang masih rapuh. Sedangkan aku termasuk diantaranya. 

Logika ku memaksa diri ini untuk kuat, tapi setiap kali saat flash back, hatiku masih merasakan remuk redam itu. 


Dalam Komunitas SMI ini, aku ketahui bahwa ada yang memutuskan sebagai single mom adalah pilihan hidupnya. Mereka menyebutnya sebagai single mom by choice. Sungguh suatu keputusan yang berat pastinya. Tapi itulah pilihan hidup. Karena kehidupan harus terus berjalan, kita harus memilih jalan mana yang harus ditempuh. 


SMI menyebut diri sebagai rumah teduh. Rumah yang pintunya selalu terbuka. Terbuka untuk menyambut para single mom yang pilihan jalan hidupnya dari mana pun. Ada solidaritas yang kuat disuguhkan. Benar-benar rumah yang teduh. 


Ada suatu perasaan dan pemikiran tersendiri, ketika aku membaca kisah-kisah para single mom yang suaminya mendahului menghadap Yang Kuasa. Kadang aku merasa iri dengan mereka. 

Menurut penilaianku, 

mereka bersedih tapi kesedihannya berselimut rindu.

Kenangan manis terbayang indah, 

dan air mata pun hadir karena rindu. 

Harta peninggalan semua terhitung menjadi kuasanya. 


Sementara cerita ku tak seperti itu. 

Sama dengan single mom yang berpisah karena perceraian,

kenangan manis menjadi kabur. 

Kesedihan kami berselimut luka. 

Air mata kami hadir karena kepedihan. 

Tak ada harta peninggalan,

semua terhitung sebagai gono-gini yang bisa jadi akan dibicarakan atas untung dan rugi, atau bahkan dilupakan. 

Betapa seluruh cinta diperhitungkan sebagai hitung dagang. 

Tak jarang masih menyisakan masalah yang tak kunjung selesai. 

Citra cinta tak lagi indah seperti dugaan dulu, dan ini adalah cacat rasa ku setelah luka itu hadir. 


Namun bagaimana, apapun jalan hidup kita semua, semua adalah skenario Ilahi yang harus kita jalani. KetetapanNya sudah pasti adalah kebaikan untuk kita semua. Pasti ada banyak hikmah di balik peristiwa. 

Hanya saja kita yang awam seringkali berkeluh kesah. 

Renungan ini pun yang membuatku ikhlas menjalani pahit getirnya kehidupan. 


Seperti lirik dalam lagu bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Yah, panggung sandiwara. Kita semua adalah pelaku peran. Masing-masing kita memiliki peran dalam menjalani sandiwara hidup ini. Skenario hidup telah ditetapkanNya, dan kita adalah pemeran di setiap adegan peristiwa. Standar kebenaran pun telah diberikan melalui kitabNya. Tinggal kita menjalaninya dengan keimanan. 











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi ...

Menulis Lagi

Gabung dengan berbagai komunitas itu membuat kita terlibat dengan banyak ragam aktifitas dan  memunculkan ide untuk aktifitas positif baru.  Salah satu komunitas yang kuikuti di facebook ialah ITB Motherhood, suatu group mamah-mamah alumni Institut Gajah di Bandung. Tidak terlalu aktif di dalam group tersebut, tapi kalau ada konten menarik bisa jadi akan urun komentar atau benar-benar akan terlibat di dalamnya.  Suatu malam, menjelang istirahat kusempatkan buka hp dan sesaat berhenti di suatu postingan tentang menulis di blog. Hmmmm menarik.  Ku buka blog ku ini.. ah , ternyata sudah sangat lama tak menulis disini meski kegiatan menulis masih saja berlanjut, tapi menulis di media lain.  Ku pikir, ini aktifitas yang bagus untuk menantang diri ku sendiri untuk disiplin menulis, dan juga melatih kemampuan ku dalam hal menulis.  Kalau kuingat mengapa dulu ingin punya blog adalah ingin punya tempat untuk curhat. Semacam diary pribadi yang biasanya menjadi rahasi...

Melanjutkan Pendidikan dengan Minat

Masa SD hingga SMA Ketika SD, ada kebiasaan kami untuk bertukar biodata. Kebiasaan tersebut menjadi sesuatu yang penting ketika menjelang kelulusan SD, karena, bisa jadi, kami tidak bertemu lagi di pendidikan selanjutnya. Bisa karena tidak satu sekolah yang sama atau pindah keluar kota. Salah satu point yang harus diisi adalah cita-cita.  Saat berusia 12 tahun, aku masih bingung untuk menetapkan cita-cita apa yang ingin ku raih. Karena itu, aku mengikuti pilihan teman-teman ku yang kebanyakan memilih sebagai insinyur pertanian, meski aku tak tahu bagaimana dan apa yang harus aku lakukan untuk meraihnya selain rajin belajar.  Ketika SMP, perhatian ku lebih banyak ke kegiatan ekstra kurikuler seperti pramuka, OSIS, dan pelajaran keterampilan pilihan yang bisa berganti-ganti di setiap semesternya. Hal itu membuat wawasan dan keterampilan ku menjadi beraneka di bidang bahasa, olah raga dan seni. Sementara minat khusus yang berhubungan dengan mata pelajaran belum muncul. Sekolah ku...