Untuk Sebuah Nama beberapa tahun lalu, aku sudah merasakan akan kehadiranmu, namun tak kujumpai secara nyata jejakmu, tapi rasa itu begitu kuat atas keberadaanmu. bertahun telah berlalu, aku tak peduli apakah kau manusia atau hantu, tak kubiarkan jiwa ragaku terjebak dalam bayang-bayang dirimu, aku memilih untuk bergerak maju bersama waktu. prahara yang ia tinggalkan telah memecahkan kristal berharga kami, di sini aku terluka karena serpihan pecahannya, sementara kau nikmati segala bahagia yang mestinya milik kami, sementara pedih perih luka itu dibiarkannya menganga. bertahun kemudian, ketika luka sembuh sebagian, ada luka yang tak juga kunjung sembuh, justru dinikmati dan dinanti saat kambuh. Sakit, ya… aku tahu. Itu memang sakit. betapa aku tak boleh mengaduh, dan aku harus tetap menggenggam kristal pecah itu, sementara prahara pun bertumbuh, serpihan pecahan pun makin merasuk serasa membunuh. hingga kau tersebut diantara amarah, dan aku pun teryakinkan bahwa kau bukan sekedar ar
Keluarga adalah tempat kita merasa nyaman untuk menjadi diri kita sendiri. Tempat untuk kita berharap dengan tulus atas segala dukungan hebat sehingga kita bisa lebih hebat lagi berperan di masyarakat. Itulah makna keluarga bagiku. Namun dengan kesibukan keseharian kita, kebersamaan bersama keluarga seringkali menjadi terlupakan. Kalau ku ingat masa kecilku dulu, makan malam dan ngobrol di ruang tengah setelahnya adalah masa yang selalu diikuti oleh seluruh anggota keluarga. Inti dari ngobrol itu adalah komunikasi antar anggota keluarga. Bapak dan ibu menjadi tahu kegiatan apa saja yang diikuti oleh anak-anaknya. Dari situ, mereka pun menjadi paham minat anak-anaknya. Saat itulah, bapak dan ibu memberikan nasihat baiknya kepada anak-anak. Ah, rindu sekali rasanya akan masa-masa itu. Jadi ingat bagaimana bapak bercerita sambil menasihati, dan aku duduk di sampingnya. Tentunya, pola kebiasaan itu pun menjadi gambaran besar yang ingin diterapkan dalam kehidupanku bersama keluargaku.