Tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua. Tidak ada sekolah untuk menjadi ibu yang baik. Tetapi dulu, sekitar tahun 70an, di Bandung, ada sekolah 'Ibu Bijaksana'. Ibu saya mengikuti sekolah itu bersama teman-temannya.
Saya lihat buku catatannya sangat banyak. Ada buku panduannya yang tampak semacam diktat. Tebal sekali.
Buku Itu memuat pembahasan mengenai pembinaan keluarga yang baik, termasuk bagaimana mendidik anak dengan baik (parenting).
Saya melihat bagaimana ibu saya mempraktekkan apa yang dipelajarinya di sekolah itu. Ia mulai menjadi teman bagi kami bertiga, anak-anaknya, dan tidak lagi banyak melarang dengan bahasa yang terdengar 'galak' .
Andai sekolah seperti itu masih ada sampai sekarang, tentu akan sangat laku keras. Karena sebagai ibu, banyak hal yang harus dihadapi, diurusi, dan itu semua sangat membutuhkan kesabaran, dan kesiapan mental. Tentunya akan diperlukan ilmu sebagai bekal.
Di era perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini, akan sangat mudah diperoleh informasi mengenai apapun yang kita butuhkan. Tinggal klik di mesin pencari Google, berbagai jawaban pilihan sudah tersedia. Bahkan tutorial, ceramah, penjelasan yang ditampilkan dalam bentuk video pun ada.
Menulis di Bulan April
Bulan April 2021 adalah bulan tersibuk rasanya. Selain memasuki bulan Ramadhan,
Diri sendiri sudah menantang diri untuk menulis selama bulan Ramadhan dalam #ramadhanmenulis ,
Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog tentang review buku dari penulis perempuan,
Menulis tentang parenting untuk tulisan bersama mbak Deka,
Menulis cerpen untuk buku antologi keempat ku.
Kebetulan untuk menulis tentang parenting itu perlu membaca beberapa buku tentang parenting sebagai referensi. Alhamdulillah, sekali baca, tiga proyek tulisan terkerjakan, yaitu proyek tulisan kesatu, kedua dan ketiga.
Salah satu buku referensi itu adalah 'Parenting 4.0' yang ditulis oleh Astrid Savitri yang bernama pena R.D. Asti .
Ulasan Buku Parenting 4.0
Astrid Savitri berdomisili di Yogyakarta. Pada profil penulis disebutkan bahwa beliau bisa dihubungi melalui instagramnya di @everythingastrid
Penulis ini telah menulis banyak buku tentang improvement, motivasi, dan lain sebagainya. Kalau dilihat melalui instagramnya, pastinya akan terkagum-kagum. Aktifitas menulisnya luar biasa. Sudah banyak buku ia terbitkan. Tak ragu lagi, saya langsung follow Instagramnya.. 😁
Buku Parenting 4.0 ini, menurut saya, sangat detail membahas bagaimana mendidik anak di era digital. Diawali dengan pengenalan generasi Z yang mempunyai karakteristik berbeda dibandingkan dengan generasi sebelumnya, juga dikenalkan karakteristik tiap generasi sebelumnya. Hal ini menjadi dasar pengetahuan untuk bisa memahami bagaimana mendidik generasi Z oleh generasi X sebagai orang tuanya, dan generasi kakek dan neneknya
Pada bagian pertama, saya menjadi paham, mengapa saya sebagai generasi X, memiliki pola asuh yang berbeda dengan orang tua saya. Dulu, saya daftar sekolah SMP, SMA, bahkan memilih jurusan ke Perguruan Tinggi pun adalah keputusan saya sendiri dan saya lakukan sendiri. Tidak diantar dan didampingi. Sementara saya mengantar anak-anak saya setiap hari, dari TK sampai SMA. Saya lakukan pengawasan penuh yang dijabarkan dalam buku Parenting 4.0 sebagai helicopter parent. Ya.. seperti helikopter yang bisa mengawasi apa saja yang terjadi di bawahnya. Saya baru melepas anak-anak untuk benar-benar mandiri ketika menginjak masa kuliah. Itupun karena mereka semua kuliah di luar kota Yogyakarta yang mengharuskan mereka kost dekat kampusnya. Saya sekarang paham, hal itu disebabkan karakter generasi orang tua saya dan saya yang berbeda, pengalaman masa hidup yang berbeda dan tuntutan zaman yang berbeda. Perbedaannya seperti apa dibahas juga pada buku ini.
Setiap anak lahir dengan tuntutan jamannya sendiri-sendiri. Demikian juga generasi Z yang merupakan pokok pembicaraan dalam buku ini. Tuntutan di era serba daring ini memerlukan pengetahuan bagaimana gaya pengasuhan generasi Z. Hal ini dibahas pada bagian dua.
Sejak tahun 2000, sudah banyak sekolah yang menggunakan informasi daring sebagai referensi untuk pelajaran sekolah. Buku pelajaran cetak sudah mulai berkurang penggunaannya. Bisa dibayangkan pendidikan dan sekolah masa depan akan sangat mengandalkan informasi dari Google dan YouTube, bukan buku. Hal ini dibahas pada bagian tiga buku ini.
Kondisi sosial dan budaya yang mempengaruhi anak-anak generasi Z pun dibahas pada bagian ketiga. Meski komunikasi mereka selalu daring, tapi mereka tetap bisa mengalami perundungan, dan pengaruh negatif media sosial yang mereka ikuti.
Terdapat pula fenomena FOMO (fear of missing out) yang lebih dikenal oleh Kita sebagai 'kudet' (kurang update). Kalau dipikir-pikir sebegitu pentingkah mengikuti trend ? Trend ini bukan hanya sekedar pengetahun trend fashion, tetapi juga gosip, game, dan kepemilikan barang yang sedang trend. Hal ini membuat anak-anak tidak bisa lepas dari gawainya. Mereka sulit lepas dari notifikasi yang muncul melalui gawai, sehingga kecenderungannya adalah acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar. Lupa dengan kehidupan sosial di kehidupan nyata.
Karena FOMO itu pula, mereka dengan sangat mudah menerima permintaan pertemanan di media sosial. Percaya dengan sangat mudah meski belum pernah bertemu secara langsung. Hal itu bisa menimbulkan masalah penipuan, penculikan. Demi rasa FOMO itu pula, mereka bisa menampilkan diri secara palsu di media sosial, seperti berswafoto di depan mobil atau rumah mewah. Bisa dikatakan bahwa kebahagiaan semu telah mereka dapatkan dengan cara demikian.
Keasyikan mereka dengan gawainya pun bisa mempengaruhi hubungan mereka dengan anggota keluarga di rumah. Komunikasi dengan ayah dan ibu menjadi terhalang dengan kesibukannya bermedia sosial. Diskusi keluarga setelah makan malam tidak lagi terjadi. Apa yang ingin diketahui mereka tak lagi ditanyakan kepada orang tua, karena pertanyaannya sudah dijawab oleh Google.
Alhamdulillah jika yang mereka cari dan dapatkan melalui internet itu adalah hal-hal baik dan positif. Bagaimana jika yang mereka dapatkan justru hal yang tidak baik dan negatif ?
Sebagai orang tua sekaligus pendidik, jelaslah bahwa kita harus memaksimalkan potensi mereka, serta mengetahui bagaimana peran kita sebagai orang tua dan pendidik dapat mengelola kekurangan mereka melalui pembelajaran dan pandangan ke masa depan. Keberadaan Google yang bisa menjawab semua pertanyaan mereka bukan berarti mereka tidak lagi membutuhkan orang tuanya lagi. Mereka masih membutuhkan orang tua untuk mengarahkan mana yang baik dan mana yang salah. Pembentukan karakter anak tidak bisa mengandalkan Google.
Anak adalah titipan Allah, dan orang tualah yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban Google, bukan ?
teh sari ... artikelnya sangat bermanfaat.
BalasHapusjadi kepingin punya buku ini
salam semangat
Iya Dewi. Ini menarik.
HapusMakasih sudah mampir.
Wah, Teh Sari ... ulasannya bikin penasaran sama isi lengkap bukunya, hehhee.
BalasHapusIya.. buku ini menarik sekali. Saya pun ingin membaca sekali lagi rasanya.
HapusWah, akupun kepo. Anakku hampir 5 tahun, harua siap2 nih Menghadapi ke depannya menjadi orangtua di era digital
BalasHapusMakasih Teh, bagus dan sangat relevan ini bukunya, bekal untuk kita para orangtua yg putra putrinya hidup di era digital.
BalasHapusSebagai millenial orang tua generasi Alpha, harus banyak banyak baca buku parenting seperti ini ya. Makasih teh ide bacaannya.
BalasHapusIsi bukunya relevan sekali dengan kenyataan dan tantangan jadi orang tua di era digital. Menarik dan bikin penasaran ingin baca juga. Makasih ulasannya, Teh. 👍🏻
BalasHapusWah, saya salut banget, ternyata tahun 70an ada sekolah ibu bijaksana ya...
BalasHapusSoalnya ibu saya bilangnya, zaman dulu mah engga ada parenting2 gitu beda kaya zaman sekarang :D
Saya ngerasa betul jadi helicopter parent, Teh. Sangat berbeda dengan dulu ketika kecil bebas bermain ke mana saja, sekarang justru saya membatasi anak-anak dalam bermain. Hal yg mendasari saya jadi seperti itu karena kekhawatiran akan maraknya kejahatan terhadap anak-anak belakangan ini, juga gaya pergaulan anak zaman sekarang yang lebih bebas. Ternyata apa yg saya rasakan itu tertulis di buku ini 😊
BalasHapusYa mbak Meita, dengan alasan yang sama, saya pun melakukan hal yang sama. Penculikan anak dan segala kejahatan yang tidak kita inginkan itu mau tidak mau membuat kita menjadi helicopter parent. Tidak salah, karena yang kita lakukan adalah jawaban dari kondisi yang terjadi. Semoga anak-anak kita semua tetap terjaga dan selalu sehat ya. Aamiin
HapusMenarik juga ya istilahnya, helicopter parents karena selalu mengawasi anak. Menarik banget nih sepertinya bukunya Mbak Sari.
BalasHapus