Cantik. Siapa yang tak ingin disebut cantik? Semua perempuan mau disebut sebagai perempuan cantik. Oleh karena itu, tak heran bila banyak iklan kecantikan yang menawarkan solusi masalah kecantikan perempuan. Mulai dari alat koreksi, make up, dan segala krim untuk memperbaiki dan merawat kulit. Bahkan untuk mengatasi masalah rambut rontok, pewarnaan dan perawatan rambut sehat pun menjadi bagian dari penyempurnaan kesan cantik itu. Dengan populasi jenis kelamin perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki, bisnis kosmetik adalah bisnis yang sangat menjanjikan dan menguntungkan. Kaum perempuan menjadi target konsumen yang sangat potensial.
Standar cantik itu sendiri berubah bersama berjalannya waktu. Pada zaman Jawa Kuno, kecantikan perempuan digambarkan dalam kisah Ramayana, yaitu seperti kecantikan Sita, istri Rama. Ketika memasuki jaman kolonial, standar cantik berubah mengikuti iklan yang ditayangkan melalui media saat itu. Sebagai contoh, iklan sabun palm olive ditayangkan dalam majalah De Huisvrouw in Indie pada tahun 1937 dan Bintang Hindi tahun 1928. Pada iklan tersebut, perempuan cantik tampil seperti perempuan Barat yang berkulit putih.
Perubahan standar kecantikan itupun terus berlangsung. Demikian pula ketika Jepang datang menjajah Indonesia. Standar kecantikan pun beralih pada kecantikan perempuan Jepang dan segala penampilannya. Baru mulai tahun 1970, Indonesia menampilkan standar kecantikannya sendiri yang tidak harus berkulit putih. Berbagai produk kecantikan lokal pun bermunculan. Namun, lambat laun, kesan cantik lokal yang hitam manis, kuning langsat, dan coklat aristokrat itupun bergeser menjadi putih cantik. Di situlah mulainya Barat menjadi kiblat kecantikan.
Cantiknya para peragawati barat yang putih, tinggi, dan langsing cenderung kurus itupun menjadi patokan trend cantik. Seperti bihun, kata anak gaul saat ini. Di negri Barat sendiri, trend cantik pun berubah-ubah. Ada masanya bahwa perempuan cantik adalah yang sedikit gemuk. Ini tampak pada era Marilyn Monroe yang berat badannya 67 kg dan tinggi badannya 163 cm. Namun, di tahun 2009, standar cantik di Barat berubah mengikuti bentuk boneka Barbie yang berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, dan bertubuh langsing. Pengaruh trend boneka Barbie ini cukup menjadi tidak masuk akal. Sering kita dengar berita, adanya perempuan yang sangat suka dengan boneka Barbie hingga mengubah dirinya menjadi serupa dengan boneka itu. Operasi plastik pun rela ia lakukan hingga tujuannya tercapai.
Berbeda dengan belahan dunia yang terpengaruh trend kecantikan, beberapa suku pedalaman mempunyai citra cantiknya sendiri. Suku Karen di Thailand menganggap bahwa perempuan dengan leher jenjang itu cantik. Oleh karena itu, sejak usia 5 tahun, perempuan suku Karen sudah dipakaikan kalung (atau lebih tepatnya gelang leher) dan gelang kaki. Gelang leher itu akan membentuk leher yang jenjang pada perempuan suku Karen di usia dewasa. Gelang leher itu harus dikenakan selalu dan hanya dilepaskan pada saat pernikahan, melahirkan dan meninggal dunia.
Pemakaian gelang kalung pada suku Karen itu bukan hanya tanpa alasan. Ada alasan budaya yang mendasarinya. Mereka mengenakan gelang-gelang itu dilatarbelakangi kebudayaan turun temurun serta kepercayaan bahwa wanita Suku Karen berasal dari seekor Burung Phoenix. Bagi orang Suku Karen, phoenix adalah nenek moyang wanita yang berpasangan dengan naga yang dianggap sebagai nenek moyangnya para pria suku itu. Selain itu, gelang leher itu berfungsi sebagai pelindung. Pada jaman dahulu, ketika masih tinggal di pegunungan, nenek moyangnya masih sering kontak dengan binatang buas. Binatang-binatang buas itu sering menyerang leher dan tenggorokan. Oleh karena itu, gelang kalung itu berfungsi sebagai pelindung diri. Tetapi anehnya, gelang kalung itu tidak digunakan kaum laki-laki suku itu, setidaknya untuk fungsi perlindungan tersebut.
Lain lubuk lain ilalang, lain suku berbeda pula kebiasaan. Suku Dayak di Indonesia pun punya citra cantiknya sendiri. Perempuan Dayak dianggap cantik jika bertelinga panjang (pitarah) dan memiliki tato di lengan, kaki dan leher. Telingaan Aruu adalah tradisi memanjangkan telinga yang bukan hanya masalah kecantikan, tetapi juga menunjukkan strata sosial. Laki-laki yang memanjangkan telinganya berarti termasuk golongan bangsawan. Mereka menggunakan pemberat dari logam yang disebut sebagai belaong. Budaya ini sudah lama ditinggalkan namun tampilannya masih dipertahankan dalam dandanan baju adat Dayak. Dengan begitu, perempuan dengan baju adat Dayak akan tampil seolah bertelinga panjang.
Beberapa suku di Afrika pun mempunyai standar kecantikannya sendiri-sendiri. Hal itu menjadi ciri khas budaya suku. Contohnya suku Himba dan suku Mauritania.
Suku Himba disebut juga dengan istilah "suku merah" yang berasal dari Namibia Utara, Afrika Selatan. Perempuan Suku Himba tidak tampil dengan rambut hitam aslinya. Mereka mengikat rambutnya dengan kepang yang banyak. Seluruh tubuh dan rambutnya diolesi mentega dan oker merah (otjize). Kepangan rambut itu juga sebagai penanda status mereka. Bagi wanita yang belum menikah, mereka akan membagi kepangan rambutnya menjadi dua.
Perempuan yang berasal dari Suku Mauritania di Afrika mempunyai kriteria cantik yang berbeda. Bagi mereka, perempuan cantik adalah yang yang bertubuh gemuk. Semakin gemuk semakin menarik. Hal itu karena sebuah anggapan bahwa semakin gemuk semakin memenuhi hati suaminya. Dengan begitu, tak ada lagi ruang untuk perempuan lain di hati suaminya. Anggapan itu lucu sebenarnya. Tetapi, itulah budaya dan uniknya tiap budaya di setiap tempat.
#30dwc
#30dwcjilid34
#day7
Komentar
Posting Komentar