Siapa yang bisa mengira jika akan ada suatu pandemi yang melanda hingga mendunia di era sekarang ini? Semua terkejut dengan fakta yang terjadi. Indonesia yang semula yakin tidak akan terjangkit pandemi, ternyata terkena juga. Rasa percaya diri yang besar pada para pemimpin bangsa membuat upaya cegah tangkal dilakukan secara terlambat.
Pandemi mendunia. Itulah nyatanya dan termasuk Indonesia pun terkena pandemi Covid-19. Sementara negara-negara lain sudah menetapkan lock down, Indonesia masih tenang-tenang saja. Namun begitu, masyarakat awam yang semula percaya Indonesia akan tetap sehat kemudian mulai resah. Keresahan itu lebih terasa jika melihat kenyataan bahwa masih banyak orang asing yang keluar masuk Indonesia dengan bebas. Virus Covid-19 bisa masuk dengan mudah melalui wisatawan manca negara yang keluar masuk Indonesia. Selanjutnya, penyebaran virus pun menjadi tak terkendali.
Penanganan yang lambat terhadap pandemi membuat Indonesia menjadi negara yang masuk dalam catatan hitam. Negara-negara lain justru melarang warganya untuk datang dan berwisata ke Indonesia. Hal itu menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengambil keputusan yang tepat untuk menghadapi pandemi Covid-19. Memang sebuah dilema antara mempertahankan laju ekonomi bangsa dan kesehatan bangsa. Namun keputusan harus segera diambil agar penyebaran virus tidak meluas ke seluruh negeri. Skala prioritas dalam pengambilan keputusan harus diterapkan. Dalam hal ini, kesehatan bangsa harus lebih diutamakan. Akan menjadi percuma jika perekonomian negara dipertahankan tetapi kesehatan bangsa ambruk.
Melihat kenyataan itu, akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menerapkan pembatasan aktivitas. Berbagai istilah diterapkan, namun intinya, pemerintah tidak menerapkan lock down secara ketat. Hal itu atas pertimbangan agar ekonomi bangsa tetap bergerak. Masyarakat yang sadar akan kesehatan dan bahayanya pandemi covid-19 me-lock down diri. Kebijakan bekerja dan sekolah secara daring pun diberlakukan di semua sektor. Sektor pemerintahan dan bidang layanan publik memberlakukan aturan kerja secara hybrid. Secara bertahap, beberapa aktivitas yang membuat kerumunan orang banyak ditiadakan, termasuk sektor pariwisata.
Di Yogyakarta, penerapan pembatasan aktivitas mempunyai cerita tersendiri. Hal itu karena banyak masyarakat dengan profesi sebagai pedagang kecil yang hidupnya sangat mengandalkan hasil dari berdagang. Pemerintah daerah pun telah menyatakan ketidaksanggupannya untuk menanggung biaya hidup rakyat Yogyakarta jika lock down diberlakukan.
Untuk awal masa pandemi, kasus yang terjadi di Yogyakarta memang rendah. Sehingga, masyarakat pun dengan percaya diri masih beraktivitas seperti kondisi normal. Hingga masa liburan tiba, banyak wisatawan lokal yang berlibur ke Yogyakarta. Mereka pikir, Yogyakarta merupakan kota yang aman untuk didatangi mengingat jumlah kasus yang rendah. Namun, efek liburan itu kemudian terasa setelah masa liburan selesai. Jumlah kasus Covid-19 pun meningkat. Kita semua tahu bahwa, selain sebagai kota pendidikan, Yogyakarta adalah kota pariwisata. Banyak masyarakatnya yang hidup dari pariwisata. Ditutupnya sektor pariwisata membuat banyak penggiat UMKM merasakan dampaknya.
Sementara pembatasan aktivitas dilakukan, kebutuhan sehari-hari diperoleh dengan cara daring. Banyak pengusaha yang peka akan kebutuhan masyarakat itu kemudian menciptakan layanan belanja secara daring. Barang belanjaan akan diantar ke rumah. Dengan begitu, masyarakat tidak perlu merasa khawatir harus berdesak-desakkan di pasar. Ibu-ibu rumah tangga yang peka dengan kebutuhan rumah tangga mulai berjualan makanan matang yang dipasarkan ke tetangga terdekat.
Informasi tentang bahan pangan yang dijual secara matang maupun beku pun mulai banyak disebar melalui media sosial. Termasuk tahu baso ikan yang dijual oleh mbak Meta. Sebenarnya, mbak Meta adalah penggiat UMKM di bidang fashion. Ia berkreasi dan menjual kerajinan perak sebagai khasnya produk kota Yogyakarta. Produk-produknya bisa dilihat melalui Instagramnya di @uparengga_gallery . Namun, karena aktivitas di sektor pariwisata sedang ditutup, bisnisnya mengalami dampaknya. Omzet dagangnya menurun drastis sehingga ia pun tak sanggup untuk mengupah pegawainya. Oleh karena itu, aktivitas bisnisnya terpaksa dihentikan sementara. Sedangkan untuk pendapatan keluarga, ia menjadi reseller produk kuliner.
Informasi menjadi reseller itupun ia dapatkan dari komunitas penggiat UMKM Yogyakarta. Menurut mbak Meta, UMKM di Yogyakarta hidup karena adanya pariwisata. Karena sektor pariwisata ditutup, banyak UMKM yang terkena dampaknya. Perhotelan pun merasakan dampaknya. Pembatasan aktivitas dan ditutupnya sektor pariwisata membuat tamu hotel menurun drastis jumlahnya. Efek dominonya adalah pasokan bahan pangan mentah ke hotel pun banyak ditolak oleh pihak hotel. Hotel-hotel tidak bisa mengambil risiko kerugian lebih banyak karena menyimpan bahan pangan terlalu lama di dalam lemari pendingin. Tentu saja hal itu bisa kita mengerti, karena kualitas makanan bagi hotel adalah utama untuk melayani tamu-tamunya.
Para pemasok bahan pangan mentah itu adalah penggiat UMKM-UMKM yang ada di sekitar Yogyakarta. Dengan kondisi seperti itu, mereka menghadapi beberapa masalah sekaligus.
1. Bahan pangan mentah harus segera dijual.
2. Mereka pun memerlukan pemasukan untuk kehidupan sehar-hari.
3. Mereka harus memikirkan nasib para pekerja yang hidupnya tergantung dengan mereka.
Melalui komunitas, mereka saling menyemangati agar bisa bertahan. Mereka yakin bahwa masalah ekonomi yang dikarenakan pandemi Covid-19 ini akan bisa mereka lalui dengan baik. Mereka sudah pernah mengalami krisis serupa. Pengalaman itu mereka alami ketika menghadapi ambruknya ekonomi akibat gempa di Yogyakarta tahun 2006 lalu. Kala itu, dari semua kelas bisnis yang ada, UMKM adalah bisnis yang tetap hidup dan justru yang menghidupkan perekonomian daerah.
Dengan bekal semangat dan jaringan komunitas yang kuat, mereka kemudian melakukan inovasi-inovasi. Ikan-ikan yang sudah waktunya dipanen itu diolah menjadi berbagai makanan beku. Contohnya tahu baso ikan dan siomay ikan itu. Produk olahan tersebut kemudian dijual melalui iklan di sosial media. Penggiat UMKM yang bergerak di luar bidang kuliner seperti mbak Meta ikut menjualkan agar bisa mendapatkan pendapatan harian.
Bersamaan dengan itu, berbagai sumber menyarankan untuk menghidupkan ekonomi rakyat secara bergotong-royong. Kebijakan belanja di warung tetangga pun dihimbaukan. Beberapa komunitas saling bergandengan tangan untuk membantu masyarakat sekitar yang terdampak pandemi Covid-19. Gerakan bantuan nasi bungkus pun ada di beberapa tempat seperti yang dilakukan komunitas alumni ITB Yogyakarta. Semua itu adalah upaya masyarakat berdasarkan rasa solidaritas dan kepedulian pada sesama. Pandemi ini memberi banyak hikmah dan kesadaran bagi kita semua. Betapa kita adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu dan lainnya.
Dari pengalaman teman-teman penggiat UMKM di Yogyakarta, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Gotong royong yang merupakan budaya bangsa Indonesia merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging di setiap jiwa rakyat Indonesia. Komunitas adalah networking yang bisa memberikan dorongan positif dan menggerakkan solidaritas untuk bersama-sama keluar dari masalah.
Selain itu, inovasi adalah cara penting untuk bisa bertahan menghadapi masalah . Jika suatu cara sudah tidak bisa memberi hasil maksimal, inovasi adalah cara yang bisa diupayakan agar keluar dari masalah. Kunci dari inovasi adalah kreatifitas.
Semoga pandemi segera berlalu dan kita semua selalu dalam keadaan sehat.
#dekaamaliawritingclass
#kelasartikeldanblog
Wow, ini keren, Mbak. 👍🏻
BalasHapusTerima kasih ya.
Hapus