Langsung ke konten utama

1 Tahun MGN dan Berkenalan Lagi

Pergantian tahun biasanya orang heboh dengan resolusi. Biasanya, saya pun membuat resolusi. Tapi sudah beberapa tahun terakhir, saya tidak lagi membuatnya. Termasuk saat memasuki tahun 2022 ini. Kalaupun ada yang ingin dicapai, mungkin baiknya menjadi catatan pribadi saja, tidak perlu harus dideklarasikan di media sosial juga. 

Namun, Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di awal tahun ini unik juga. Tema yang diminta adalah tentang diri sendiri. Kok saya malah langsung teringat buku data diri waktu tahun 80an. Begitu trendnya keberadaan buku itu hingga hampir setiap orang memilikinya. 

Dahulu, kami begitu bersemangat saling memperkenalkan diri dengan mengisi buku itu. Hal yang paling saya perhatikan di setiap data diri teman-teman adalah bagian cita-cita, pesan yang lucu-lucu, dan kata mutiara yang memotivasi. 

Tentang cita-cita, entah kenapa, banyak teman-teman yang menuliskan ingin menjadi insinyur pertanian saat itu. Dengan membaca itu, saya langsung membayangkan hamparan sawah yang luas sebagai lahan pekerjaan seorang insinyur pertanian. Kalau dipikir sekarang, betapa lugunya saya dulu. 🤭

Tetapi, saya memang sempat terpikir untuk kuliah di IPB sih. Meskipun akhirnya, saya kuliah di ITB yang katanya kampus terkeren di Indonesia. 
Sudah semestinya, saya bangga menjadi keluarga besar kampus gajah ini. Tapi mungkin juga saya bisa kuliah di ITB karena doa ibu. 

Tahun pertama Sipenmaru di tahun 1988, saya gagal. Waktu itu, saya mendaftar ke Perguruan Tinggi di luar kota Bandung. Sementara, ibu menginginkan saya kuliah di Bandung saja. Tahun kedua di tahun 1989, saya lolos Sipemmaru dan diterima di jurusan Kimia ITB. 

Ada rasa senang dan rasa syukur, itu pasti. Tapi ternyata perjuangan masih panjang. Kuliah di kampus ini sungguh berat bagi saya. Ada gap year setahun itu cukup memberi dampak juga. Bisa dibilang saya tidak punya teman. Sementara teman-teman selalu mempunyai teman akrabnya masing-masing. Ada yang berdua, bertiga, dan berempat. Saya pernah mencoba bergabung ke setiap kelompok teman. Tapi akhirnya saya seperti pengikut yang tak diharapkan. Tidak nyaman jadinya. Anehnya, saya bisa diterima dan nyambung dengan beberapa teman laki-laki. 

Rasa berat yang lain adalah tentang mata kuliah nya yang harus diikuti. Teman-teman yang bisa mencapai nilai baik itu selalu membuat saya penasaran. Kalau mereka ditanya tentang materi kuliah, jawabnya selalu “Saya juga enggak ngerti.” Tapi anehnya, nilainya selalu A atau B. Disinilah, saya merasa tidak layak untuk menjadi bagian dari kampus keren ini. Percaya atau tidak, saya menyelesaikan Tahap Pertama Bersama selama dua setengah tahun. Berulang kali, saya temui Pak Binsar yang waktu itu menjabat sebagai koordinator TPB. Pak Binsar yang baik dan ramah itu sangat membantu sekali untuk saya tetap kuliah di ITB. 

Pengalaman itu membuat saya menyarankan anak sulung saya yang diterima di jurusan Planologi tahun 2016 untuk fokus dulu menyelesaikan TPB. Namun anakku sangat bersemangat untuk kuliah dan aktif di berbagai kegiatan di ITB. Saranku hanya didengar tapi tidak dikerjakan. Ia tetap menjalani kuliah sambil sibuk dengan kegiatan di LFM, dan yang lainnya. Sebagai orang tua, saya hanya bisa memintanya untuk bertanggung jawab atas pilihannya. 

Lulus dari ITB dengan nilai pas-pasan pun tetap harus kusyukuri. Bagi saya, perjuangan yang telah dilakukan hingga lulus itulah yang tak dapat diukur dengan IPK. Ada pembentukan karakter melalui perjuangan yang harus dilalui. Setiap orang mempunyai rezeki dan perjuangannya masing-masing. 

Nilai pas-pasan memang tidak dilirik perusahaan besar, apalagi untuk menduduki posisi tertentu. Lamaran kerja sudah 50 amplop dilayangkan. Lamaran ke-51 memberikan jawaban dan saya diterima di perusahaan farmasi di bagian marketing. 

Meski hanya 1 tahun  bekerja di perusahaan farmasi itu, saya menjadi terbiasa dengan dunia marketing. Tahun-tahun berikutnya setelah selesai melahirkan 3 anak, saya kembali bekerja di dunia marketing. Dunia yang dinamis dan memungkinkan kita untuk bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda latar belakang dan karakter.  Ilmu kimia tak lagi dipakai dalam dunia kerja, tapi masih terpakai ketika anak-anak bertanya soal kimia. Sialnya, saya sudah lupa semua. Jadi anak-anak belajar sendiri dan bertanya pada mbah Google. 😅
Beruntungnya generasi sekarang, mereka punya tempat bertanya yang bisa diandalkan. Dan saya bersyukur, anak-anak bisa menjalani masa perkuliahan dengan nilai yang baik semua. Semoga mereka semua lulus dengan memuaskan.

Tentang dunia marketing, saya adalah praktisi. Saya tidak tahu macam-macam teori marketing. Namun disitulah untungnya. Saya tidak perlu risau dengan berbagai kelengkapan sumber daya, prediksi pasar, atau kemungkinan hambatan yang bisa terjadi. 

Selagi mau berusaha, pasti ada jalan. 
Just do it!
Perencanaan memang perlu, tapi tak akan ada artinya kalau hanya dibicarakan. Rencana perlu dikerjakan agar membuahkan hasil. Sebesar apapun hasilnya wajib untuk disyukuri. 

Saya sampaikan ini karena rasa kesal dengan orang yang sibuk dengan impian dan segudang rencana tapi tak juga direalisasikan. Ajaibnya, orang-orang semacam itu adalah lulusan dari ITB. Mereka berbicara dengan segudang teori dan berdebat dengan meyakinkan. Tapi mereka tidak berani untuk mengeksekusi idenya karena alasan gengsi. Jika menurut perhitungannya, sebuah bisnis hanya menghasilkan hasil yang kecil, mereka akan menyatakan bahwa bisnis itu tidak visible. 
Pertanyaannya, tidak bisakah bersabar dengan menjalani prosesnya?
Lalu, apakah sikap tersebut mencerminkan pribadi yang tidak siap menjalani tapi siap mengomentari? 

Mereka pintar untuk segala urusan yang teknis. Akan tetapi, mereka kurang mengasah otak kanannya. Begitu komentar ibu Prilasiana, alumni Seni Rupa ITB angkatan 77. Bu Ana, begitu saya memanggilnya, berpendapat bahwa seharusnya ada mata kuliah Psikologi di setiap jurusan. Hal itu dipandang perlu agar lulusan ITB tetap membumi dan tetap menjadi ‘manusia’. Tentunya bu Ana berpendapat demikian tidak sekedar asal bicara. Saya pun menyaksikan alumni ITB yang arogan karena lulusan kampus gajah ini. Tetapi, arogansi itu tidak diimbangi dengan kesadaran bahwa yang dihadapinya adalah manusia, bukan mesin. Sering didapati mereka bicara spontan yang menurut logika memang benar tapi tidak mempertimbangkan rasa bahwa yang dihadapinya adalah manusia. 

Saya mengenal bu Ana dalam event Rakernas IA ITB tahun 2009 di Yogyakarta. Pada event itu, pertama kalinya saya mengenal dan langsung bekerja sama dalam kepengurusan IA ITB Yogyakarta. Saya memegang bagian Sekretariat hingga 3 periode kepengurusan. Itu karena tidak ada yang bisa menggantikan posisi saya di Sekretariat. Untuk kepentingan regenerasi tentunya diperlukan generasi muda yang bisa menggantikan. Oleh karena itu, saya aktif mencari dan mendata alumni ITB yang tinggal di Yogyakarta. 

Alhamdulillah, anggota bertambah terus. Jumlah anggota alumni yang semula hanya tercatat tidak lebih dari 100, kini sudah mencapai 500 lebih. Salah satu cara mencari alumni ITB yang tinggal di Yogyakarta adalah melalui Facebook Group ITB Motherhood. 

Ketika akan diadakan acara Syawalan dan Silaturahmi, saya posting undangannya di Facebook Group ITB Motherhood. Dari situ, saya bertemu dengan banyak alumni ITB yang tinggal di Yogyakarta. Saya bersyukur, mereka mau bergabung dan cukup aktif di IA ITB Yogyakarta. 

Gabung dengan ITB Motherhood pun berujung dengan bergabung pada Mamah Gajah Ngeblog (MGN).  Alhamdulillah, teman-teman yang tergabung di komunitas ini sangat menjaga kekeluargaan di antara kami. Saya bahagia dan bersyukur sekali, teman-teman di MGN ini sangat senang juga berbagi ilmu. Saya yang masih mengawali penulisan di blog bisa banyak belajar. 

MGN yang lahir di tanggal 2 Januari 2021, tahun ini memasuki ulang tahunnya yang pertama. Oleh karena itu, saya ucapkan : 

Komentar

  1. Teh Sari masuk ITB aku belum lahir😅. Di tahun aku kuliah sih sudah jarang banget teh yang TPBnya ngulang bertahun-tahun. IP bagus juga relatif lebih mudah.

    Duh menohok banget nih bagian matkul psikologi untuk anak ITB. Saya setuju sih, sering lihat alumni ITB yang pintar tapi kurang mempertimbangkan "rasa". Antara malu lihatnya tapi khawatir tanpa sadar aku begitu juga.hehehe!

    BalasHapus
  2. Aamiin aamiin ya Rabb. Saya ikut mengamini ucapan Mba Sari untuk komunitas tercinta kita, MGN.

    Wah Mba, tidak menyangka, Mba Sari dulunya tidak punya teman, tetapi berhasil menjalani profesi sebagai Marketing. Luar biasa, Mba. :)

    Ihihiiy, sepertinya typical Mba, kalo ada yang bilang 'endak tahu' atau 'endak bisa' saat ditanya memgenai pelajaran, padahal dapat A; sepertinya karena takut salah dan ga ingin merasa terlihat lebih pintar dari penanya. *saya dulu pernah begini juga Mba ehehe.

    Semoga makin sukses ya Mba untuk Mba Sari dan ketiga putrinya. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengalaman yang Membawa Hikmah

Perjalanan hidup setiap orang tentunya tidak sama. Namun yang pasti, setiap orang akan ada ujiannya masing-masing yang akan membawa takdir hidupnya masing-masing. Ujian hidup itu merupakan tantangan untuk ditaklukkan dan pastinya memberi pengalaman batin dan menjadi moment pendewasaan. Seperti halnya tema ngeblog yang ditetapkan MGN untuk Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog untuk bulan September 2023 ini yang bertemakan Pengalaman Menghadapi Tantangan Hidup Terbesar. Tantangan ngeblog kali ini benar-benar tantangan bagiku. Sungguh sulit untuk memulainya. Beberapa kali telah siap menghadap layar iPad dan jemari sudah siap mengetikkan kata-kata, tapi bingung mau mulai dari mana. Dari serangkaian peristiwa yang kualami, sejenak sulit untuk memilih mana yang merupakan Tantangan Hidup Terbesar sesuai tema yang ditetapkan. Berulang kali juga merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali masa-masa sulit itu. Namun akhirnya aku menyimpulkan satu hal yang menjadi

Jelajah Dunia Kopi

Oktober datang, musim pun berganti menjelang. Angin berbisik lebih dingin, Menarik awan menggumpal tebal, Sebentar saja hujan pun tumpah, Gerimis hingga menderas, Nyamannya meringkuk dengan secangkir kopi panas. Awal bulan Oktober, grup MGN bukan hanya mengumumkan hasil tantangan bulan September, tetapi juga menyampaikan kabar tantangan bulan Oktober. Wah, kok tepat dengan suasana hujan dan ngopi sore ini. MGN menetapkan Tantangan Ngeblog Mamah Gajah Ngeblog bulan Oktober dengan tema Mamah dan Kopi. Hmm… mataku langsung melirik pada cangkir kopi di meja. Pikiran pun mengembara ke berbagai pengalaman tentang kopi yang pernah kucicipi.  Masa SMA adalah awal aku mencicipi kopi dan menjadi teman mengerjakan tugas sampai tengah malam. Namun suatu hari, ibuku melihatku minum kopi dan berkomentar bahwa lebih baik minum coklat panas daripada kopi. Hal itu karena coklat bisa menguatkan jantung, sedangkan kopi membuat jantung tidak sehat. Saat itu belum ada Google untuk mencari tah

Kreatif dengan Memanfaatkan Apa yang Ada di Sekitar

Hidup ini memang harus kita jalani apapun yang terjadi. Tidak mungkin kan, hidup harus di hentikan sesaat hanya karena apa yang harus kita jalani menemui kebuntuan. Selagi hidup masih berlangsung, kita masih perlu makan, minum, mandi, dan lain-lain. Setidaknya, kita masih perlu akan kebutuhan dasar. Oleh karena itulah, kita harus kreatif untuk mencari jawaban atas kebuntuan yang bisa jadi kita temui dalam hidup.  Kalau kita mengikuti kegiatan pramuka, tentu kita diajarkan tentang bertahan hidup dengan peralatan yang minim. Belajar hidup sederhana dan bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Dari situ, seorang pramuka akan siap menghadapi kondisi hidup sulit sekalipun.  Namun ternyata, kondisi tersebut pun dialami oleh anak-anak yang tinggal di pondok pesantren. Anak saya yang kedua telah memilih untuk melanjutkan sekolah tahap SMP nya di Pondok Pesantren Assalam Solo. Betapa suatu pilihan yang sulit bagi saya waktu itu, karena, dengan begitu, saya tidak lagi melihatnya bangun pagi da