Menulis disinyalir bisa dijadikan sarana untuk healing ketika ada depresi yang dirasakan. Dahulu, kebiasaan orang menulis dalam sebuah buku diary. Menulis menjadi cara untuk merenung atau introspeksi diri. Seorang yang introvert sangat memerlukan kegiatan menulis untuk menjadi kawan setianya di setiap saat. Meskipun, seorang yang ekstrovert pun mungkin saja akan menemui keasyikan tersendiri dengan menulis.
Memasuki masa pandemi Covid-19, banyak orang mulai menyukai kegiatan menulis. Apakah itu sebagai bagian dari pekerjaan ataupun berkomunikasi dengan teman di media sosial. Terlebih bagi orang-orang yang kehilangan pasangan hidup karena kematian ataupun perceraian yang banyak terjadi selama masa pandemi tersebut. Mereka menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana untuk melepaskan emosi yang belum tuntas. Kisah yang tertulis tentu saja mengenai kehilangan, kesedihan, dan mencoba untuk ikhlas menghadapi ujian hidup ini.
Ajakan untuk kegiatan menulis seperti pembuatan antologi pun menjadi ramai. Dari sisi Penerbit, itu adalah peluang untuk mengumpulkan naskah yang bisa dicetak. Dari sisi penulis amatir yang ingin karyanya menjadi buku, hal itu merupakan peluang yang bagus sekali. Namun, tak kalah pentingnya adalah isi tulisan yang akan dipublikasikan. Tulisan yang baik adalah tulisan yang bisa memberi dampak positif bagi pembacanya. Bukan sekedar curhat atau memamerkan penderitaan.
Sebuah konten di Instagram milik @zaili.fitria menyampaikan pesan bagus tentang kegiatan menulis.
Menulislah dan Jangan Kau Buka Aibmu. Ramai orang menyatakan cara terbaik menyembuhkan luka hati ialah menuliskan kisah pribadinya lalu dibagikan ke orang banyak. Artinya, ketika ia sudah membagikan kisahnya, hatinya sudah bisa sembuh dan membuat orang yang membacanya terinspirasi dan bahagia dengan membacanya.
Realitanya, penulis terjebak menuliskan kisah pribadinya dan berlindung dari kata self healing, lalu membuat lukanya juga ditanggung banyak orang. Menulis yang tujuan awalnya untuk menyelesaikan kejiwaannya, justru mengajak banyak orang memperhatikan masalah kejiwaannya…
Bisa jadi, pembaca yang mempunyai luka lama menjadi teringat kembali dengan lukanya sehingga kembali masuk dalam pusaran kesedihannya. Dengan demikian, menulis dengan cara mengekspos luka terus menerus tidak menjadi self healing. Akan tetapi, hal itu semakin membuatnya masuk ke dalam pusaran masalah dan kesedihan. Seperti orang mabuk kepayang, semakin tenggelam semakin asyik dan merasa bahwa itu adalah dunianya. Pembaca yang sudah bangkit dari masa duka pun bisa jadi mendapat pemicu untuk kembali ke dalam kenangan dukanya.
Aktif menulis harus dibarengi dengan aktif membaca. Dengan begitu, penulis akan mendapat tambahan kosa kata melalui tulisan lain. Efeknya, penulis akan kritis dan teliti. Penulis menjadi selektif pada informasi apa saja yang layak untuk ditulis atau tidak. Penulis pun menjadi paham mana yang bisa berdampak positif pada pembaca atau tidak. Dengan begitu, penulis akan menjadi semakin baik kualitas tulisannya sekaligus pribadinya. Self healing pun bisa dicapai.
Seseorang yang sadar bahwa dirinya memerlukan proses healing, ia harus mau keluar dari pusaran masalah. Artinya, ia tidak melulu berpikir dan membicarakan masalahnya terus menerus sepanjang tahun. Bangkit itu berarti tidak terus menerus duduk. Bangkit itu ada upaya menyiapkan kaki untuk berdiri, melangkah, dan berbuat sesuatu yang lebih bermakna untuk diri sendiri dan lingkungan sekitar. Daripada terus menerus tenggelam dalam pusaran masalah, cobalah lihat ke sekitar. Kita akan lihat banyak hal yang terjadi dan bahkan bisa jadi terdapat masalah yang lebih besar dari masalah yang sedang dihadapi. Percayalah, masih banyak orang yang jauh lebih menderita dan butuh pertolongan kita. Daripada hanyut dengan ha-hal negatif, akan lebih baik untuk bisa berbuat positif untuk membantu sesama yang membutuhkan pertolongan kita. Pertolongan itu pun termasuk dengan materi tulisan kita yang bisa menginspirasi pembaca.
#30dwc
#30dwcjilid34
#day29
#bangkit
Komentar
Posting Komentar