Rumah tangga sudah selayaknya dibentuk dan dibina dengan kasih sayang antar anggota keluarga. Ada banyak saling antara anggota keluarga, seperti saling pengertian, saling bantu, saling dukung, dan sebagainya. Komunikasi yang baik antar anggota keluarga menjadi sarana agar semua bisa berjalan dengan lancar.
Namun tidak semua rumah tangga berjalan ideal seperti itu. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik sering menimbulkan salah paham dan memicu reaksi negatif. Pendidikan agama yang tidak tertanam dengan baik pun bisa berpengaruh pada kesiapan seseorang untuk menghadapi berbagai masalah dalam rumah tangganya.
Reaksi negatif dalam menghadapi masalah rumah tangga bisa mengarah pada tindak kekerasan. Hal itulah yang disebut sebagai kekerasan dalam rumah tangga, atau disebut juga KDRT. Pelaku kekerasan tidak mampu menyelesaikan masalah rumah tangga dengan baik sehingga reaksi kekerasan ditampilkan untuk menutupi kekurangannya. Bisa juga reaksi kekerasan terjadi karena alasan lain. Namun titik perhatian penting adalah korban kekerasan tersebut.
Korban kekerasan dalam rumah tangga, biasanya, adalah perempuan dan anak-anak. Pihak-pihak yang dianggap lemah ini menjadi sasaran empuk bagi pelaku kekerasan. Anak-anak dipandang sebagai objek yang tak akan bisa melawan sehingga pelaku bisa dengan leluasa dan merasa kuasa untuk melakukan kekerasan. Sedangkan perempuan, kedudukan perempuan sebagai istri yang harus taat pada suami menciptakan persepsi yang salah. Ketaatan istri dipandang sebagai sikap yang tak boleh mengoreksi, mengkritik bahkan melawan pada suami meski suami melakukan kesalahan dan kekerasan.
Kekerasan itu sendiri tidak melulu berupa kekerasan fisik seperti memukul dengan tangan ataupun benda. Akan tetapi, kekerasan pun ada dalam bentuk verbal. Kekerasan ini akan berakibat luka secara emosional dan psikis.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bahwa kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Selain kekerasan fisik, dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disebut juga kekerasan psikis sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 7 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang berbunyi "Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang".
#30dwc
#30dwcjili34
#day14
Komentar
Posting Komentar